Jika
Anda mangkel dengan gundukan yang namanya polisi tidur maka Anda adalah kawan
saya, meski kita belum pernah ketemu. Suweeer.
Walaupun tidak saling kenal kita mempunyai perasaan yang sama terhadap “aparat”
yang kerjanya membuat shockbreaker cepat
rusak itu.
Betapa
tidak mangkel coba? Jarak dari rumah ke tempat kerja yang hanya selayang
pandang harus melewati polisi tidur sebanyak tujuh tempat. Tinggi-tinggi pula.
Itu untuk rute yang rutin. Jika jalurnya memutar karena jalan kampung ditutup
lantaran ada resepsi pernikahan atau sunatan, jumlahnya bertambah menjadi 20 polisi
tidur.
Sayangnya
kemangkelan kita tak membuat polisi tidur berhenti tumbuh. Sebaliknya, ia terus
bermunculan bak cendawan di musim penghujan. Bentuknya pun beragam, bahannya
juga. Ada yang ceper tipis dan rata, ada yang njengguluk. Ada yang sendirian, ada pula yang ngajak teman alias berjajar dua. Sebagian berbahan ban bekas, sebagian
lainnya dari cor-coran semen nan tinggi menjulang. Yang disebut terakhir ini benar-benar
membuat jengkel.
Pertanyaan
sederhananya, masih adakah kampung atau wilayah yang terbebas dari polisi
tidur? Saya tidak yakin ada. Ya kalau pun ada mungkin bisa dihitung dengan
jari. Sisanya, jari orang sekampung berbaris pun tidak cukup untuk mendata
berapa jumlah polisi tidur yang bermunculan.
Fenomena
polisi tidur ini bukan hanya di kota atau kompleks perumahan tapi juga hingga
ke pelosok desa. Saya beberapa kali melewati banyak desa dan selalu ketemu
dengan “polisi” yang satu ini.
Oya,
polisi tidur kadang “berdinas” di jalan raya. Jika tidak percaya silakan lewati
Jl. Solo-Jogja, menjelang simpang tiga Kartasura Anda akan bertemu polisi tidur
yang membuat bus suroboyoan yang
mulus-mulus itu glodhak-glodhak. Di
beberapa ruas jalan besar di wilayah Jogja saya lihat juga ada tapi sedikit lebih
landai.
Fariz
Alniezar dalam esainya di mojok.co
beberapa waktu lalu menyebut fenomena ini terjadi sebagai reaksi akibat orang
(baca: pengguna jalan) sudah tidak paham simbol. Peringatan mulai dari yang halus
seperti “jalan pelan-pelan banyak anak kecil”, model lelucon semisal “silakan
ngebut asal dituntun” hingga bernada ancaman “ngebut benjut” tidak membuat
orang paham akan pesan dari sang pemilik wilayah. Pengguna jalan sekarang rabun
atau malah buta simbol, sebut Fariz.
Saya
tidak memungkiri pendapat rekan pentolan mojok.co,
Puthut E.A. ini. Faktanya memang banyak oknum biker yang tidak empan papan
empan panggonan. Tidak tahu situasi dan kondisi, tak punya unggah-ungguh. Malah tak sedikit yang bertindak
ala Valentino Rossi di jalan-jalan kampung. Dan bisa dipastikan, model-model beginian
bukanlah yang terganggu oleh bermunculannya polisi-polisi tidur, layaknya saya.
Kadang
malah menyebalkan. Mereka menjadikan polisi tidur nan tinggi itu sebagai arena trek-trekan. Sementara yang santun di
jalan, yang menggeber kendaraan maksimal 40 km/jam ikut merasakan dampak
kemarahan “penduduk pribumi”, yang jengkel lantas membuat polisi tidur dengan
jumlah tak mau kalah dari jumlah orang yang lewat. Nyat nggapleki tenan.
Di
kampung di dekat rumah saya belum lama ini dibuat polisi tidur baru. Usianya
belum genap dua pekan. Bentuknya asyik. Polisi tidur baru—yang pembuatannya
dengan menutup jalan selama dua hari--itu berketinggian sekitar 20 cm dan di
sebelahnya ada satu lagi tapi ukurannya lebih kecil. Mungkin itu maksudnya polisi
tidur membawa serta anaknya.
Sensasi
melewati polisi tidur baru itu berbeda dengan polisi tidur lain yang lebih
dahulu dibangun. Kalau Syahrini lewat di situ mungkin akan nyeletuk,“bergetar
membahana”. Saat ngreyen polisi tidur
tersebut kali pertama anak saya sampai terlonjak lantaran kaget meski saya
menjalankan mobil dengan sangat pelan.
Fenomena
yang terlihat sepele ini menurut saya memrihatinkan. Budaya saling percaya
seolah sudah hilang. Orang tidak lagi percaya sesamanya. Orang mencurigai sebagian
yang lain bakal menjadi penyebab luka-luka/meninggalnya anggota keluarga,
kerabat, teman atau tetangga. Orang lalu berlomba-lomba membangun polisi tidur.
Saya
khawatir virus bikin polisi tidur ini menjadi candu. Orang yang pelan-pelan
melewati polisi tidur di satu tempat lantas ingin balas dendam dengan membuat
hal serupa di tempat tinggalnya. Akhirnya yang terjadi adalah perang polisi
tidur. Dan bukan tidak mungkin suatu saat akan tercipta hutan belantara polisi
tidur. Ah maaf, mungkin saya terlalu lebay.
Masyarakat
di desa saya mencoba bertoleransi dengan bersepakat tidak membangun polisi
tidur di jalan utama desa yang mulus. Dan sebagai konsekuensinya sudah tiga nyawa
melayang dalam kurun waktu empat tahun terakhir. Serba salah memang.
Tentang
polisi tidur ini ada sebuah cerita menarik dari Kota Samarinda. Sejak 2013,
Majelis Ulama Indonesis (MUI) setempat memberi label makruh hingga haram
terhadap pengadaan polisi tidur di jalan raya. Alasannya, polisi tidur menghalangi dan membahayakan para
pengguna jalan.
Jika polisi tidur “sekadar”
mengganggu pengendara kategorinya makruh (lebih baik ditinggalkan/tidak
dibangun). Tapi bila sampai mengakibatkan orang meninggal maka hukumnya haram
dan wajib dibongkar kembali. MUI menisbatkan kepada hadits Nabi S.A.W. tentang jalan
umum bukan milik pribadi atau golongan sehingga semua orang dibolehkan melintas
dengan nyaman tanpa ada halangan. "Di zaman Rasulullah S.A.W. kalau ada
batu atau ranting yang menghalangi jalanan harus disingkirkan, apalagi ini
malah diberi polisi tidur," demikian penjelasan Ketua MUI Samarinda K.H.
Zaini Naim. (tempo.co, 16 Oktober
2016).
Zaini lantas membuat analogi. Jika suatu
saat terjadi bencana kebakaran, polisi tidur—apalagi yang tinggi-tinggi—akan
membuat mobil pemadam kesulitan masuk ke lokasi. Dan jika mobil pemadam sampai
terjungkal gara-gara polisi tidur, kata Zaini, maka si pembuatnya mendapat
dosa.
Langkah MUI Samarinda ini sangat
menarik. Jika MUI di tempat lain berfatwa tentang terorisme, halal dan haramnya
makanan serta minuman, fatwa di Samarinda ini agak di luar kebiasaan tapi
langsung mengena ke masyarakat. Sayangnya saya tidak tahu bagaimana
realisasinya di lapangan. Saya belum membaca berita lanjutannya. Zaini Naim
sendiri mengatakan pihaknya hanya berwenang mengeluarkan fatwa, soal
pelaksanaannya menjadi ranah pemerintah daerah.
Tapi di luar fatwa ini sebenarnya
yang harus dibangun kembali adalah rasa tepa
selira, tenggang rasa, saling percaya, hormat menghormati, sopan santun dan
unggah ungguh yang seolah menghilang
dari diri kita.
Saya akan selalu ingat wejangan
bapak dulu saat saya masih kecil. “Yen
ngliwati wong linggih kudu ndhingkluk trus nyuwun sewu” (Kalau melewati
orang duduk harus membungkuk dan permisi). Mungkin pembaca yang berusia 35
tahun ke atas juga mengalami mendapatkan wejangan-wejangan bijak seperti itu.
Petuah seperti itu yang akan selalu
terpatri di hati. Sehingga tanpa ada polisi tidur pun secara etika kita akan
selalu santun tatkala melewati jalanan kampung. Kita akan memberi hormat dan
uluk salam kepada orang yang kita lewati, bukan malah biyayakan dan membuat marah. Jika semua bisa begitu, maka polisi
tidur tidak perlu berdinas lagi.
Note: Artikel ini dimuat Harian Umum
Solopos, 6 November 2016
No comments:
Post a Comment