“Malas baca Solopos. Informasinya tidak
lengkap, bikin penasaran. Tidak klimaks!!!”
Pesan
ini mampir di inbox Facebook saya. Sebentar saya terhenyak. Kritikan yang
muncul kali kesekian dari orang yang sama. Kendati tak bertemu muka, saya
membayangkan di seberang sana kawan saya itu pasti sedang manyun. Indikasinya terlihat
dari tanda seru pada pesannya di inbox. Gila, sampai tiga…
Usut
punya usut, rupanya kawan karib itu sedang membahas berita di Solopos tentang
kasus pengarakan siswi kelas II SMP di Sragen yang bikin heboh beberapa pekan
terakhir. Setiap hari ia mengikuti berita itu. Bukan hanya satu koran tapi
beberapa. Solopos menjadi bacaan utama karena ia telah berlangganan sejak lama.
Justru
karena berstatus bacaan utama itulah yang membuat ia dongkol. Di Koran A ia
mendapati alamat lengkap serta foto sang korban pengarakan bugil. Korban
dijepret saat mendampingi keluarganya menerima kedatangan Kak Seto. Gadis
malang itu mengenakan masker. Tapi jelas pembaca bisa mengira-ira seperti apa
gadis yang sedang tumbuh dewasa itu.
Di
Koran B tertulis nama korban. Ada fotonya juga meski di-blur di bagian wajah. Menurut
saya foto ini lebih sadis. Fisik korban terlihat sekali karena mengenakan
pakaian yang agak ketat. Sementara di Koran A, saat difoto korban mengenakan
baju longgar plus berjilbab.
Sama
dengan Koran A, Koran B memuat alamat lengkap korban yang meliputi dusun, desa
dan kecamatan. Sementara di Solopos,
jangankan fotonya alamat korban saja hanya tertulis kecamatan. Sama sekali
bikin penasaran, katanya. “Saya berpikir untuk ganti langganan koran,” kawan
saya mengakhiri chatting dengan tulisan yang mengagetkan.
Saya
terhenyak lagi. Kawan saya itu penggemar Solopos dan berlangganan sejak lima tahun
silam. Meski membaca koran lain ia tidak berhenti membeli koran yang saya sudah
13 tahun berkecimpung di dalamnya tersebut.
Tapi
jika ia berhenti berlangganan karena geram lantaran berita pengarakan bugil
tidak komplet, terus terang saya tidak bisa mencegah. Tentu kami tidak ingin
demi memuaskan kehausan informasi pembaca lantas kami membuta terhadap aturan
main.
Bukan
karena informasi wartawan kami tidak lengkap yang membuat Solopos tak memuat
nama, alamat apalagi foto korban. Adalah perintah Undang-undang Pers yang
membuat kami harus patuh. Pasal 5 Kode Etik
Jurnalistik mengamanatkan “Wartawan
Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila
dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.”
Kesepakatan di ruang redaksi kami, penulisan korban kejahatan susila
harus inisial, alamat maksimal kecamatan saja (haram mencantumkan desa, dusun
apalagi sampai RT dan RW-nya). Jika pelaku adalah tetangga atau orang
terdekatnya maka ia juga harus diinisial agar tidak menggiring pengetahuan
pembaca ke identitas korban. Singkat cerita, korban harus sangat-sangat
dilindungi!
Dalam
kasus di Sragen, di Solopos alih-alih mendapat foto korban, nama gadis itu pun
hanya diinisial R. Jangankan mendapat alamat rumahnya, Solopos hanya menulis
kecamatan saja untuk menunjukkan di mana gadis malang itu tinggal. Pelaku juga
hanya diinisial! Dengan informasi “sedangkal” itu wajar jika kawan saya yang
bekerja sebagai karyawan swasta tersebut geram.
Apakah
Solopos tidak mempunyai informasi lengkap tentang R? Atau wartawan Solopos
malas menggali informasi tentang gadis yang sekarang menjadi anak asuh Kak Seto
itu? Hehehe…silakan berprasangka, tapi saya jamin wartawan Solopos mempunyai
data lengkap tentang R. Tentang alamat detail rumahnya, di mana ia bersekolah,
siapa nama orang tuanya, nama tetangganya, nama pelaku pengarakan. Tentu, reporter
Solopos yang bertugas di Sragen juga mempunyai foto korban.
Tapi
pembaca, usia korban 15 tahun dan duduk di kelas II salah satu SMP swasta di
Bumi Sukowati. Umur 15 tahun kalau untuk anak sekarang rata-rata bodinya sudah
bongsor. Hormon mereka tumbuh jauh lebih baik dari anak-anak seusia mereka
puluhan tahun silam. Foto yang dimuat koran A dan Koran B menguatkan analisis
saya ini. Umumnya anak di usia itu sekarang juga sudah mengenal pacaran.
Bayangkan
lagi, di usia yang sudah merangkak dewasa itu ia diarak bugil, ditonton banyak
orang, didokumentasikan melalui foto dan video lalu disebarluaskan melalui
internet? Hanya dalam hitungan detik, video porno itu menyebar ke mana-mana, bisa
diakses di berbagai belahan dunia. Coba bayangkan lagi jika R adalah Anda, atau
anak Anda, atau adik Anda, atau kakak Anda, atau apalah yang penting keluarga
Anda, bagaimana psikologinya? Maka wajar jika kemudian R mencoba bunuh diri
sebagaimana diberitakan Solopos beberapa hari setelah kasus pengarakan.
Itulah
alasan kenapa identitas korban kami rahasiakan. Bahkan identitas pelaku pengarakan
pun kami cukup inisial. Lho kenapa? Bukankah ia pelaku kejahatan? Seharusnya ia
dihukum secara sosial dengan “dipermalukan” di muka umum karena perbuatannya
yang melanggar HAM gadis R?
Betul,
tapi bukankah pelaku adalah tetangga dekat korban? Dengan membuka identitas
pelaku sama artinya kami menggiring masyarakat untuk tahu identitas R. Kami
menghindari: “itu lho gadis yang diarak dalam kondisi bugil.”
Sekarang
tentu Anda paham kan kenapa kami tidak bisa membuat “klimaks” hasrat ingin tahu
pembaca dalam kasus ini. Kami harus mempertimbangkan antara keterbukaan informasi
dengan psikologi korban. Dan dalam kasus ini, psikologi dan masa depan lebih
penting dari sekadar koran kami laku dibaca. Wallahua’lam bisshawab.
*Ditulis di Soloensis, 29 Januari 2016
No comments:
Post a Comment