Sunday, December 16, 2018

Muhammad Zohri & Pemilu



Saya tidak tahu apakah Fauzan Noor, sang juara dunia karate tradisional asal Indonesia, sudah berterima kasih kepada Lalu Muhammad Zohri atau belum. Jika belum, semoga Fauzan segera melakukan itu. Sebab “berkat” sang juara dunia lari asal Lombok, Nusa Tenggara Barat itu, Fauzan jadi kaya mendadak.

Berbagai hadiah dikirim ke rumahnya meskipun terlambat enam bulan sejak ia menjuarai International Traditional Karate Federation (ITKF) di Praha, Republik Ceko, akhir 2017 hingga awal 2018 lalu. Bukan sekadar terlambat datang, terlambat dipikirkan bahkan.

Fauzan--karateka berusia 20 tahun asal  Federasi Karate Tradisional Indonesia (FKTI)--mendapat tuah kehebatan media sosial (medsos). Setelah Zohri panen duit gegara mempermalukan jagoan Paman Sam di ajang lomba lari dunia beberapa pekan lalu, publik dunia maya mengarahkan telunjuk ke Fauzan. Kenapa sama-sama juara dunia, sama-sama mengharumkan nama negara, bisa berbeda perlakuan.

Zohri menjadi jutawan dadakan bahkan sebelum dirinya menginjakkan kembali kakinya di Tanah Air. Sementara Fauzan tak sepeser pun mendapatkan penghargaan serupa, baik dari negara/pemerintah, perusahaan maupun para dermawan.

Alih-alih hadiah, duit utangan untuk keberangkatannya ke Praha pun belum terbayar. Selama dua pekan di Republik Cheko, Fauzan dan pelatihnya, Mustafa, hanya mengantongi duit Rp600.000. Dana untuk ikut kompetisi dan tiket pesawat Rp50 juta didapatkan dari berutang. Untuk bekal selama kejuaraan di Ceko, mereka berdua membekali diri dengan mi instan, kacang bungkus, telur asin, dan ikan asin.

Padahal juaranya Fauzan tak kalah heroik dari Zohri. Dalam kejuaraan adu gebuk itu, lawan-lawan Fauzan bertubuh lebih tinggi dan besar. Di partai final, pemuda asal Banjarmasin, Kalimantan Selatan itu harus menghadapi jawara tuan rumah yang bertubuh 20 kg lebih berat dan 20 cm lebih tinggi darinya. Di karate tradisional memang petarung tidak mengenal kelas. Yang penting masuk kategori senior (minimal berusia 17 tahun) maka layak dipertandingkan berapa pun berat badannya.

Setelah ramai di internet, dermawan pun berdatangan. Ada yang menawari Fauzan pekerjaan, ada pula yang menyumbang uang. Begitulah, di “zaman now” ini, sehebat apapun Anda harus viral dulu baru mendapat apresiasi.

Kisah Fauzan ini cerita klasik. Penghargaan dan perhatian sering datang terlambat. Padahal, Indonesia memiliki banyak mutiara terpendam di berbagai bidang, baik olahraga maupun seni dan pendidikan. Selain Fauzan dan Zohri, ada nama Samantha Edithso, bocah asal Bandung yang menjadi juara dunia catur di Minks, Belarusia pada Juli 2017. Dan sama kasusnya dengan Fauzan, apresiasi untuk Samantha pun datang terlambat. Ia mendapat tuah dari Zohri effect.


Kisah Fauzan dan Samantha—dan juga masih banyak lagi talenta hebat Tanah Air—merupakan kisah klasik kekurangpedulian dan kurangnya penghargaan negara atas kemampuan anak negeri. Negara kerap terlambat menyadari ada emas berkilau.

Talenta-talenta hebat itu kerap merasa sendirian. Padahal mereka berjibaku mengharumkan nama bangsa dan negara. Saya teringat keluh kesah Indra Sjafrie kali pertama membangun skuat Timnas U19 pada 2012 silam. Dengan dana pribadi ia bepergian keliling Indonesia demi ambisi mencari talenta-talenta hebat di lapangan hijau. Ia punya mimpi membangun timnas Indonesia yang menjadi macan Asia seperti di era tahun 1960 hingga 1970-an.

Mimpi itu mulai menjadi kenyataan saat skuat yang dibangun Indra Sjafrie berhasil menjuarai Piala AFF U19 pada 2013 di Sidoarjo, Jawa Timur. Sayang setelah sukses Garuda Muda dijadikan komoditi. Mereka dikomersialkan dengan aneka uji coba melawan tim-tim lokal Tanah Air dan luar negeri. Timnas U19 mendadak menjadi penghasil pundi-pundi uang bagi PSSI.

Akibatnya, saat diuji pada pertandingan sesungguhnya (Piala Asia U20) mereka antiklimaks. Hasilnya jeblok dan gagal total. Dan saat terpuruk itu, kembali Indra Sjafrie merasa sendirian. Tidak ada lagi dukungan seperti saat ia juara. Bahkan mantan pelatih Semen Padang itu disalahkan karena gagal di event resmi.

“Jika tidak ada Cak Nun [Emha Ainun Najib], mungkin saya sudah ditembak saat di Myanmar” kata Indra dalam salah satu acara Maiyahan, acara yang dipandu Cak Nun, pada 2014 silam.

Begitulah nasib para pengharum nama bangsa. Mereka dipuja-puja saat juara dan diabaikan begitu saja saat tak menghasilkan piala.

Mumpung berada di event besar politik—Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden—mari berkeluh kesah tentang hal ini. Mungkin tidak akan seketika mengubah keadaan tapi semoga keluh kesah ini nyanthol di benak salah satu calon pemimpin. Sehingga saat berkuasa ia berbuat sesuatu yang lebih baik bagi para pengharum nama bangsa.

Dulu di era Menpora Adyaksa Dault dibikin program Satu Rumah Satu Atlet, penghargaan bagi para mantan atlet yang hidupnya susah. Entah apakah program itu masih berjalan atau tidak sekarang. Sebab menjadi tradisi di negeri ini, berganti pemimpin berganti pula semua program kerjanya.

Saatnya Negara lebih peduli dengan talenta anak bangsa. Jangan hanya olahraga popular yang mendapat perhatian. Cabang olahraga yang lain juga harus mendapatkan porsi yang adil. Sebab, mereka punya peluang yang sama untuk menorehkan prestasi.

Kasus Fauzan ini anomali. FKTI, federasi karateka tempat ia bernaung belum terdaftar di KONI. Otomatis tidak ada perhatian apalagi pendanaan bagi para atlet di federasi tersebut. Padahal terbukti saat bertarung dengan atlet dari berbagai negara Fauzan  mampu menjadi yang terbaik.

Saatnya pemerintah tidak hanya fokus pada olahraga yang selama ini mempunyai nilai jual tinggi semacam sepak bola, bulu tangkis dan tinju. Perlu perhatian dan pembinaan secara serius serta berkelanjutan di semua cabang olahraga. Melalui pembinaan yang baik, bibit-bibit emas akan bermunculan.

Sejarah membuktikan Indonesia tidak kekurangan atlet berbakat. Mereka hanya butuh diberi perhatian dan fasilitas. Kasus Fauzan salah satu contohnya. Dimulai dari persiapan dengan dana mandiri, saat berangkat pun ia dan pelatihnya harus berutang untuk membeli tiket pesawat. Dan terbukti, dengan segala keterbatasan yang ia miliki Fauzan mampu mempersembahkan yang terbaik untuk Ibu Pertiwi.

Kondisi Muhammad Zohri sebenarnya mirip dengan Fauzan. Modal semangat membara yang membuat ia mampu mengatasi segala keterbatasan finansial sebagai atlet. Dengan asupan gizi yang pas-pasan untuk ukuran atlet, nyatanya ia mampu mengalahkan para pelari dunia yang notabene lebih terjamin gizi dan nutrisinya. Keuletannya sukses mengguncang dunia atletik yang selama identik dengan dua Negara, Amerika Serikat dan Jamaika.

Tak kalah pentingnya adalah penghargaan setelah sang atlet pensiun. Tak semua atlet seberuntung Chris John, sang mantan juara dunia tinju kelas bulu, yang setelah gantung sarung tinju tetap laku di iklan. Sang Dragon--julukan Chris John-- kini bahkan laku di dunia politik dengan menjadi calon anggota legislatif dari Partai Nasdem.

Banyak atlet yang setelah pensiun hidup merana. Ambil contoh Suharto, peraih medali emas balap sepeda SEA Games 1979 yang kini bekerja sebagai penarik becak di Surabaya. Atau Lenni Haeni, atlet dayung yang meraih 20 medali emas dan perak untuk Indonesia yang kini bekerja sebagai buruh cuci. Ada juga atlet yang menjual medali yang ia peroleh karena kehabisan beras.

Yang paling fenomenal tentu saja kisah Ellias Pical, juara tinju dunia kelas bantam yang sempat menjadi tukang pukul di sebuah klub malam sebelum kemudian dipekerjakan sebagai karyawan di KONI setelah kisah hidupnya menjadi konsumsi media.

Kita berharap pemimpin-pemimpin yang terpilih dalam Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden mendatang mampu merumuskan aturan yang berorientasi pada kepedulian terhadap aset bangsa. Tentu saja bukan aturan yang hanya diterapkan saat mereka berkuasa tapi juga bisa diteruskan di masa sesudah mereka.




*Artikel dimuat Solopos, 5 Agustus 2018

No comments:

Post a Comment

PETAHANA OH PETAHANA

Presiden Joko Widodo membombardir publik dengan sejumlah kebijakan populis di tahun politik. Setelah menaikkan anggaran perli...