Saya tidak tahu apakah Fauzan Noor, sang juara dunia
karate tradisional asal Indonesia, sudah berterima kasih kepada Lalu Muhammad Zohri
atau belum. Jika belum, semoga Fauzan segera melakukan itu. Sebab “berkat” sang
juara dunia lari asal Lombok, Nusa Tenggara Barat itu, Fauzan jadi kaya
mendadak.
Berbagai hadiah dikirim ke rumahnya meskipun terlambat
enam bulan sejak ia menjuarai International
Traditional Karate Federation (ITKF) di Praha, Republik Ceko, akhir 2017 hingga
awal 2018 lalu.
Bukan sekadar terlambat datang, terlambat dipikirkan bahkan.
Fauzan--karateka berusia 20 tahun asal Federasi
Karate Tradisional Indonesia (FKTI)--mendapat tuah kehebatan media sosial
(medsos). Setelah Zohri panen duit gegara mempermalukan jagoan Paman Sam di
ajang lomba lari dunia beberapa pekan lalu, publik dunia maya mengarahkan
telunjuk ke Fauzan. Kenapa sama-sama juara dunia, sama-sama mengharumkan nama negara,
bisa berbeda perlakuan.
Zohri menjadi jutawan dadakan bahkan sebelum dirinya
menginjakkan kembali kakinya di Tanah Air. Sementara Fauzan tak sepeser pun
mendapatkan penghargaan serupa, baik dari negara/pemerintah, perusahaan maupun
para dermawan.
Alih-alih hadiah, duit utangan untuk keberangkatannya
ke Praha pun belum terbayar. Selama dua pekan di Republik Cheko, Fauzan dan
pelatihnya, Mustafa, hanya mengantongi duit Rp600.000. Dana untuk ikut
kompetisi dan tiket pesawat Rp50 juta didapatkan dari berutang. Untuk bekal
selama kejuaraan di Ceko, mereka berdua membekali diri dengan mi instan, kacang
bungkus, telur asin, dan ikan asin.
Padahal juaranya Fauzan tak kalah heroik dari Zohri. Dalam
kejuaraan adu gebuk itu, lawan-lawan Fauzan bertubuh lebih tinggi dan besar. Di
partai final, pemuda asal Banjarmasin, Kalimantan Selatan itu harus menghadapi
jawara tuan rumah yang bertubuh 20 kg lebih berat dan 20 cm lebih tinggi
darinya. Di karate tradisional memang petarung tidak mengenal kelas. Yang penting
masuk kategori senior (minimal berusia 17 tahun) maka layak dipertandingkan
berapa pun berat badannya.
Setelah ramai di internet, dermawan pun berdatangan.
Ada yang menawari Fauzan pekerjaan, ada pula yang menyumbang uang. Begitulah, di
“zaman now” ini, sehebat apapun Anda harus viral dulu baru mendapat apresiasi.
Kisah Fauzan ini cerita klasik. Penghargaan dan
perhatian sering datang terlambat. Padahal, Indonesia memiliki banyak mutiara
terpendam di berbagai bidang, baik olahraga maupun seni dan pendidikan. Selain
Fauzan dan Zohri, ada nama Samantha Edithso, bocah asal Bandung yang menjadi
juara dunia catur di Minks, Belarusia pada Juli 2017. Dan sama kasusnya dengan
Fauzan, apresiasi untuk Samantha pun datang terlambat. Ia mendapat tuah dari Zohri effect.
Kisah Fauzan dan Samantha—dan juga masih banyak lagi
talenta hebat Tanah Air—merupakan kisah klasik kekurangpedulian dan kurangnya
penghargaan negara atas kemampuan anak negeri. Negara kerap terlambat menyadari
ada emas berkilau.
Talenta-talenta hebat itu kerap merasa sendirian.
Padahal mereka berjibaku mengharumkan nama bangsa dan negara. Saya teringat
keluh kesah Indra Sjafrie kali pertama membangun skuat Timnas U19 pada 2012
silam. Dengan dana pribadi ia bepergian keliling Indonesia demi ambisi mencari
talenta-talenta hebat di lapangan hijau. Ia punya mimpi membangun timnas
Indonesia yang menjadi macan Asia seperti di era tahun 1960 hingga 1970-an.
Mimpi itu mulai menjadi kenyataan saat skuat yang
dibangun Indra Sjafrie berhasil menjuarai Piala AFF U19 pada 2013 di Sidoarjo,
Jawa Timur. Sayang setelah sukses Garuda Muda dijadikan komoditi. Mereka
dikomersialkan dengan aneka uji coba melawan tim-tim lokal Tanah Air dan luar
negeri. Timnas U19 mendadak menjadi penghasil pundi-pundi uang bagi PSSI.
Akibatnya, saat diuji pada pertandingan sesungguhnya
(Piala Asia U20) mereka antiklimaks. Hasilnya jeblok dan gagal total. Dan saat
terpuruk itu, kembali Indra Sjafrie merasa sendirian. Tidak ada lagi dukungan
seperti saat ia juara. Bahkan mantan pelatih Semen Padang itu disalahkan karena
gagal di event resmi.
“Jika tidak ada Cak Nun [Emha Ainun Najib], mungkin saya
sudah ditembak saat di Myanmar” kata Indra dalam salah satu acara Maiyahan,
acara yang dipandu Cak Nun, pada 2014 silam.
Begitulah nasib para pengharum nama bangsa. Mereka
dipuja-puja saat juara dan diabaikan begitu saja saat tak menghasilkan piala.
Mumpung berada di event besar politik—Pemilu
Legislatif dan Pemilu Presiden—mari berkeluh kesah tentang hal ini. Mungkin
tidak akan seketika mengubah keadaan tapi semoga keluh kesah ini nyanthol di benak salah satu calon
pemimpin. Sehingga saat berkuasa ia berbuat sesuatu yang lebih baik bagi para
pengharum nama bangsa.
Dulu di era Menpora Adyaksa Dault dibikin program Satu
Rumah Satu Atlet, penghargaan bagi para mantan atlet yang hidupnya susah. Entah
apakah program itu masih berjalan atau tidak sekarang. Sebab menjadi tradisi di
negeri ini, berganti pemimpin berganti pula semua program kerjanya.
Saatnya Negara lebih peduli dengan talenta anak
bangsa. Jangan hanya olahraga popular yang mendapat perhatian. Cabang olahraga
yang lain juga harus mendapatkan porsi yang adil. Sebab, mereka punya peluang
yang sama untuk menorehkan prestasi.
Kasus Fauzan ini anomali. FKTI, federasi karateka tempat ia bernaung belum terdaftar di
KONI. Otomatis tidak ada perhatian apalagi pendanaan bagi para atlet di
federasi tersebut. Padahal terbukti saat bertarung dengan atlet dari berbagai negara
Fauzan mampu menjadi yang terbaik.
Saatnya pemerintah
tidak hanya fokus pada olahraga yang selama ini mempunyai nilai jual tinggi
semacam sepak bola, bulu tangkis dan tinju. Perlu perhatian dan pembinaan
secara serius serta berkelanjutan di semua cabang olahraga. Melalui pembinaan
yang baik, bibit-bibit emas akan bermunculan.
Sejarah membuktikan
Indonesia tidak kekurangan atlet berbakat. Mereka hanya butuh diberi perhatian
dan fasilitas. Kasus Fauzan salah satu contohnya. Dimulai dari persiapan dengan
dana mandiri, saat berangkat pun ia dan pelatihnya harus berutang untuk membeli
tiket pesawat. Dan terbukti, dengan segala keterbatasan yang ia miliki Fauzan
mampu mempersembahkan yang terbaik untuk Ibu Pertiwi.
Kondisi Muhammad
Zohri sebenarnya mirip dengan Fauzan. Modal semangat membara yang membuat ia
mampu mengatasi segala keterbatasan finansial sebagai atlet. Dengan asupan gizi
yang pas-pasan untuk ukuran atlet, nyatanya ia mampu mengalahkan para pelari
dunia yang notabene lebih terjamin gizi dan nutrisinya. Keuletannya sukses
mengguncang dunia atletik yang selama identik dengan dua Negara, Amerika
Serikat dan Jamaika.
Tak kalah pentingnya
adalah penghargaan setelah sang atlet pensiun. Tak semua atlet seberuntung
Chris John, sang mantan juara dunia tinju kelas bulu, yang setelah gantung
sarung tinju tetap laku di iklan. Sang Dragon--julukan Chris John-- kini bahkan
laku di dunia politik dengan menjadi calon anggota legislatif dari Partai
Nasdem.
Banyak atlet yang
setelah pensiun hidup merana. Ambil contoh Suharto, peraih medali emas balap
sepeda SEA Games 1979 yang kini bekerja sebagai penarik becak di Surabaya. Atau
Lenni Haeni, atlet dayung yang meraih 20 medali emas dan perak untuk Indonesia
yang kini bekerja sebagai buruh cuci. Ada juga atlet yang menjual medali yang
ia peroleh karena kehabisan beras.
Yang paling fenomenal
tentu saja kisah Ellias Pical, juara tinju dunia kelas bantam yang sempat
menjadi tukang pukul di sebuah klub malam sebelum kemudian dipekerjakan sebagai
karyawan di KONI setelah kisah hidupnya menjadi konsumsi media.
Kita berharap
pemimpin-pemimpin yang terpilih dalam Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden
mendatang mampu merumuskan aturan yang berorientasi pada kepedulian terhadap
aset bangsa. Tentu saja bukan aturan yang hanya diterapkan saat mereka berkuasa
tapi juga bisa diteruskan di masa sesudah mereka.
*Artikel dimuat
Solopos, 5 Agustus 2018
No comments:
Post a Comment