Tuesday, December 25, 2018

Indonesia dan Piala Dunia




Seorang kawan menggerutu saat Tim Nasional (Timnas) U19 Indonesia dikalahkan Timnas U19 Qatar beberapa hari lalu. Gerutuan yang khas terjadi setiap kali tim sepak bola kita kalah dari negara lain. "Namanya kalah ya kalah, mau skor berapapun tetap saja kalah.”


Saya memaklumi kegeramannya. Lini belakang Timnas U-19 begitu keropos. Di babak pertama sudah ketinggalan 1-4. Pada 10 menit babak kedua bertambah menjadi 1-6. Semua menduga Timnas pasti akan kalah. Dan itulah memang yang terjadi.  Anak asuh Indra Sjafrie takluk oleh anak-anak muda Qatar. 

Tapi bukan soal menang kalah yang ingin saya bahas di sini melainkan tentang skor akhir. Secara pertandingan Timnas kita tidak mendapat poin karena kalah. Tapi skor 5-6 itu luar biasa. Anak-anak muda itu tidak menyerah meski tertinggal jauh dari Qatar. Mereka terus berlari, merapikan kerja sama serangan lalu mencetak gol demi gol.

Semangat tempur Timnas seperti pasukan Der Panzer Jerman kala menggilas tuan rumah Brasil 7-1 di edisi sepakbola terakbar sejagat, Piala Dunia 2014. Witan Sulaiman dan kawan-kawan bermain kesetanan di paruh babak kedua. Seolah ingin menebus kesalahan sang kapten, Nur Hidayat, yang melakukan beberapa blunder hingga berbuah tiga gol Qatar pada babak pertama.

Dan semangat menggila itu bukan saja membuat pendukung Merah Putih angkat topi untuk mereka tapi juga membuat Tim Garuda Jaya lolos ke babak delapan besar Piala AFC 2018. Lima gol itu yang menjadi hitung-hitungan kala Indonesia, Qatar, dan Uni Emirat Arab (UEA) memiliki poin yang sama (6).

Indonesia berada di peringkat kedua karena punya agresivitas gol 6-6 di bawah Qatar (7-7). Dan UEA yang menghajar Qatar di laga sebelumnya menangis karena hanya punya produktivitas gol 2-2. 

Poin dari keteladanan anak asuh Indra Sjafrie adalah pantang menyerah hingga detik terakhir. Persis seperti gelora para penjuang tempo dulu memerdekakan bangsa ini dari penjajah. Andaikan ketika melawan Qatar itu Indonesia hanya puas dengan gol keempat misalnya, sudah pasti mereka yang tersingkir, bukan UEA.

Begitulah Indonesia seharusnya. Semangat membara itu yang ditunjukkan para pejuang kita dulu. Tak kalah sebelum berjuang, pantang minder sebelum bertanding.

Optimisme itu pula yang seharusnya kita pupuk untuk Indonesia. Bukan pesimis bahwa Indonesia akan hancur 10 tahun atau 20 tahun lagi. Data-data tentang potensi kegagalan bukan untuk menakut-nakuti melainkan untuk dicarikan antisipasi. 

Saya tidak ingin terjebak dalam kooptasi politik yang karut marut beberapa tahun terakhir. Saya menghindari memperdebatkan kontestasi politik antara calon presiden petahana, Joko Widodo, dengan penantangnya, Prabowo Subianto.

Kalau ada yang bertanya “kamu memilih capres siapa”, tentu sebagai warga negara saya punya preferensi politik. Dan itu bersifat rahasia atau istilah Orde Baru disebut langsung, umum, bebas, dan rahasia, disingkat Luber. Siapa yang saya pilih adalah  hak privasi saya nanti di bilik suara.

Tapi sebagai seorang jurnalis saya harus menjaga independensi agar tetap setia kepada nurani. Kesetiaan kepada nurani itu yang akan menuntun saya bersikap adil. Jika ada yang baik pada petahana akan saya dukung, jika ada yang tak baik saya kritisi. Begitupun pada kubu oposisi, jika ada yang baik saya apresiasi dan jika ada yang tidak baik tentu saya akan ingatkan.

Saya sedang berbicara tentang optimisme. Soal hasil akhir itu prerogatif Tuhan. Tapi kita diberi kebebasan utk memaksimalkan proses. Dan hasil akhir tidak akan mengkhianati proses. "Tidaklah Allah mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu mengubah nasibnya sendiri" (Q.S. Ar Raad ayat 11).

Jika Allah saja menyerahkan proses sepenuhnya kepada manusia kenapa masih ada pesimisme di diri kita? Menang kalah urusan belakang, hancur atau jaya urusan nanti, yang penting maju terus pantang mundur. 

Ada slogan di markas militer yang menarik untuk dijadikan panutan. “Kami bukanlah prajurit hebat tapi kami prajurit terlatih. Pantang kami pulang tanpa membawa kehormatan.” 

Bergidik enggak dengan slogan itu? Kalau saya sih yes, enggak tahu kalau Anang, eh Anda..hehehe. 
Menang kalah bukan soal. Yang penting terhormat. Menang terhormat kalah pun dengan terhormat. Pulang dengan kepala tegak laksana pejuang, bukan dengan muka tertekuk bak pecundang.

Kita harus punya harga diri sebagai bangsa. Jika pun kondisi Indonesia lebih buruk di masa mendatang, setidaknya anak cucu mencatat bahwa nenek moyang mereka dulu berjuang, bukan hanya ongkang-ongkang. 

Lolos tidaknya Indonesia ke Piala Dunia U20 Polandia akan ditentukan Minggu (28/10) mendatang. Tapi pekan ini kita menjadi saksi para pejuang lapangan hijau telah melakukan apa yang mereka bisa untuk Indonesia. Mereka tak berpikir kaki bakal patah, jantung akan copot karena harus berlari tanpa henti selama 90 menit. Yang ada di benak mereka hanya satu: Indonesia! 

Mereka lahir dan besar di Indonesia. Darah dan jiwa mereka terukir dari hasil bumi Indonesia. Mereka lahir dan akan mati di Indonesia. Jadi selagi nyawa masih dikandung badan, apapun mereka persembahkan untuk negeri tercinta.

Sebagai insan beragama mereka sadar cinta tanah air adalah bagian dari jihad. Sebagaimana dulu para ulama menggelorakan semangat jihad itu untuk mempersuasi rakyat mengusir penjajah. 

Ini pelajaran berharga yang kita petik dari karya kecil Indra Sjafrie, pelatih yang bukan saja pandai mengajarkan teknik-teknik bermain bola tapi juga piawai menyuntikkan motivasi. Jarang ada sebuah tim yang telah ketinggalan 1-6 tiba-tiba berubah bak singa kesurupan hingga mengejar skornya menjadi 5-6.

Andaikan para pemain Qatar dan ofisialnya tidak berlebihan bermain drama di 10 menit terakhir, bukan tidak mungkin Timnas U19 Indonesia bisa menyamakan kedudukan atau malah menang. Demi meredam Indonesia pelatih Qatar Bruno Miguel Pinheiro rela mempermalukan dirinya dengan masuk ke lapangan agar waktu kian terulur. 

Semangat pantang menyerah itu mengingatkan kita pada heroiknya 11 pemain Liverpool yang mengejar ketertinggalan gol 0-3 dari AC Milan pada final Liga Champions 2005 silam. Setelah ketinggalan 0-3 di babak pertama, Steven Gerrard dan kawan-kawan mengamuk di babak kedua. Mereka menyamakan skor 3-3 lalu menang di drama adu penalti. Juara!

Liverpool menunjukkan bahwa tidak ada yang tidak mungkin dalam hidup. Asal mau bekerja keras, tekun, paham ilmu maka setiap kesulitan hidup akan mudah diatasi.

Mungkinkah Timnas U19 bisa mengalahkan Jepang di babak delapan besar untuk melenggang ke Piala Dunia? Bisa saja, kenapa tidak? Jepang memang kekuatan Asia dan akrab dengan piala dunia, tapi bukankah Evan Dimas dan kawan-kawan pernah menaklukkan Korea Selatan pada 2014 silam? Padahal ketika itu Korea Selatan merupakan jawara Asia.

Timnas U16 juga mengalahkan Iran pada babak penyisihan Piala AFC U16, September lalu. Sama dengan Jepang dan Korea Selatan, Iran termasuk salah satu kekuatan sepak bola Asia.

Kunci dari kemenangan melawan Korea Selatan dan Iran adalah semangat pantang menyerah, selalu berpikir positif, kompak, saling menguatkan dan melengkapi.

Falsafah sepak bola ini bisa diterapkan dalam konteks politik. Optimisme harus dibangun terus menerus tanpa henti. Indonesia memang belum lepas dari status negara berkembang. Begitu banyak yang harus diperbaiki agar bangsa dan negara ini sejajar dengan negara-negara maju.

Tapi tidak ada yang tak mungkin. Kuncinya adalah berpikir positif, optimis, saling bekerja sama. Sudahi mencari salah lawan politik, setop berebut benar. Hentikan menebar fitnah sesama anak negeri. Mari berbuat demi Indonesia jaya.



*Artikel dimuat di Solopos, 27 Oktober 2018
* Sumber foto: Sriwijaya Post

No comments:

Post a Comment

PETAHANA OH PETAHANA

Presiden Joko Widodo membombardir publik dengan sejumlah kebijakan populis di tahun politik. Setelah menaikkan anggaran perli...