Kepada yang saya hormati, Hakim Agung Bapak Artidjo Alkostar. Bersamaan
dengan datangnya surat ini, semoga Bapak dalam keadaan sehat wal afiat, senantiasa
mendapat limpahan rahmat dan kebaikan dari Allah SWT. Aamiin.
Begini Pak, saya ingin menyampaikan uneg-uneg.
Setelah kami perhatikan dengan seksama dan dalam tempo yang selambat-lambatnya,
kok Bapak itu rasanya begitu kejam kepada para mantan ya? Kenapa Pak? Jujur
saja, apakah Bapak punya riwayat khusus dengan mantan? Pernah kecewakah Bapak dengan
mantan? Jika benar, apa ya pantas Bapak lampiaskan kekecewaan itu kepada para
mantan yang lain, yang tidak kenal sedikitpun dengan Bapak dan Bapak pun tak
kenal mereka?
Coba ini yang terbaru, Johanes Gluba Gebze. Mimpi apa
mantan Bupati Merauke, Papua ini coba sampai harus “bertemu” dengan Bapak dan lantas
Bapak hukum 10 tahun? Bukankah ia belum lama merasakan bahagia karena dihukum
satu tahun oleh junior Bapak di Pengadilan Tipikor
Jayapura?
Sepuluh tahun di penjara itu lama lho Pak Artidjo?
Bukankah uang yang “dipinjam (tapi tidak pernah kembali)” Gluba hanya Rp18,5
miliar? Tapi Bapak berikan dia tambahan hukuman sembilan tahun, duh…teganya…teganya…teganya.
Oh Tuhan, kenapa Kau tega membiarkan Pak Artidjo bertindak kejam kepada
sesamanya?
Bukan sekali ini Bapak kejam kepada mantan.
Sebelumnya Bapak hukum eks Sekda Kabupaten Nabire, Papua, Ayub
Kayame, juga dengan 10 tahun penjara. Padahal junior Bapak di Pengadilan Tinggi
Jayapura sudah kompak menghukum Ayub 12 bulan penjara. Sesama hakim kenapa Bapak
tak bisa seia sekata dengan para mantan—eh junior sih? Sepertinya senang benar
dengan angka 10 ya Pak Artidjo, ada apa? Jangan mentang-mentang bertitel hakim agung
lah Pak…
Tak ibakah Bapak dengan Kangmas Anas Urbaningrum
yang Bapak vonis 14 penjara? Bukankah mantan (lagi-lagi mantan) Ketua HMI itu
hanya mencari keadilan atas vonis 8 tahun penjara oleh Pengadilan Tipikor
Jakarta? Lantas kenapa justru Bapak lipat gandakan hukumannya menjadi 14 tahun?
Ditambah lagi harus membayar uang pengganti Rp57 miliar. Uang dari mana? Mantan
itu tak punya banyak simpanan, Pak!
Tak terketukkah hati Bapak oleh jeritan Mas
Anas—yang urung digantung di Monas—yang ganteng itu? Ingat kata-katanya,”Dikira
hakim kasasi bisa mengoreksi kezaliman dan kekerasan hukum menjadi putusan yang
adil. Ternyata malah menambah sadism dan memorakporandakan keadilan.” Belum
lagi sumpah serapah pengacaranya Mas Anas yang menyebut Bapak dengan,”palu
hakim kasasi berlumuran darah”. Ih sungguh ngeri kali aku (kata Lik Ruhut
Sitompul).
Mbah OC Kaligis juga Bapak kejami. Masak sih Bapak
tega menghukum kakek-kakek begitu dengan 10 tahun penjara. Bukankah akan lebih
bijak jika pengacara dan guru besar yang telah banyak mengharumkan nama negara
itu tetap dihukum 5,5 tahun seperti vonis yang diketok para junior Bapak di
Pengadilan Tipikor Jakarta?
Oh ya sebelum lupa, Bapak
juga ya hakim yang menghukum mantan Putri Indonesia Angelina Sondakh dari 4,5
tahun menjadi 12 tahun penjara. Ih, bukan hanya ke cowok, rupanya Bapak bisa juga
ya tega menghukum cewek. Padahal yang dipinjam (juga tidak akan dikembalikan
jika tidak konangan) Mbak Angie kan
hanya Rp12 miliar.
Itu pun cuma untuk beli apel Washington dan apel Malang
lho Pak. Kok tega ya Pak Artidjo. Siapa tahu Mbak Angie beli apel karena sedang
ngidam. Untunglah hakim peninjauan kembali (PK) MA bermurah hati dengan
mengurangi dua tahun dari hukuman yang Bapak jatuhkan.
Meskipun kejam, herannya banyak yang mengidolakanmu,
kenapa ya Pak? Banyak yang memajang poster Bapak sebagai simbol masih adanya
keadilan hukum di negerinya para bedebah ini. Bahkan tidak sedikit yang
memasang foto Bapak di hape mereka. Ada apa? Apa mereka tidak takut Bapak
penjarakan. Kudengar Bapak tak pandang bulu, bulu kuduk, bulu telinga, bulu
jenggot dan …..bulu-bulu yang lain siap Bapak cabut.
Kudengar stok angka 10 Bapak masih segudang,
benarkah? Atau jangan-jangan saat ini Bapak sudah punya daftar siapa saja yang
akan diberi angka 10 itu? Ih ngeri sekali, Pak Artidjo.
Dan ternyata, diam-diam aku pun mengagumi Bapak lho.
Gimana tidak kagum coba? Yang ada pada diri Bapak seolah cerminan malaikat. Bapak
terkenal sebagai hakim yang sederhana. Konon dari rumah ke kantor Bapak masih
konsisten menumpang bajaj atau taksi…(eh serius kah ini???). Bapak kok tidak
bisa seperti Rohadi sih? Itu lho,
panitera pengganti di Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang punya 19 mobil mewah
dan rumah sakit. Rohadi ini kabarnya yang mengatur komposisi hakim untuk setiap
perkara. Duh, hebat nian Rohadi, pantas dia lebih kaya dari Pak Artidjo.
Bapak juga terkenal galak nan tegas. Di pintu kantor
Bapak katanya ada tulisan, “Tidak Menerima Tamu yang Berkaitan dengan Perkara”.
Konon Bapak berprinsip perkara dibicarakan di pengadilan, bukan ruang-ruang
tertutup apalagi di hotel. Saya pernah lihat Bapak cerita di televisi bahwa pernah
diserbu gerombolan ninja saat berada di sebuah hotel di daerah. Tapi bapak
selamat karena para ninja tersebut salah kamar. Ah, semoga Tuhan senantiasa
menjaga dan memberkahi Bapak.
Tapi Pak Artidjo yang baik. Sejujurnya kami
bertanya-tanya juga sih, kenapa ya terpidana koruptor yang dari barisan penegak
hukum tidak Bapak hukum lebih berat? Ada mantan hakim Syarifuddin, ada mantan
jaksa Andri Fernando. Kok hukuman mereka tetap empat tahun seperti sebelum
kasasi?
Bukankah mereka juga barisan para mantan? Apalagi mereka
itu orang-orang yang harusnya menegakkan hukum? Logika kami yang awam mestinya hukuman mereka
lebih berat dari koruptor biasa dong. Ah, semoga ini hanya suuzon kami saja,
semoga engkau dan hakim agung yang lainnya telah menimbang dengan penuh
pencermatan, “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” seperti yang
tertulis di pembukaan surat putusan. Dan, jika ada kolega sesama penegak hukum
kau hukum juga lebih berat seperti Mas Anas, Mbak Angie, Mbah Kaligis de el el…
Cukup sekian surat saya Pak, mohon maaf kalau
kepanjangan. Oh ya, kenalkan nama saya Lare Solo. Tolong dicatat nama ini ya
Pak, ya siapa tahu suatu ketika saya kesandung masalah dan perkaranya sampai di
Bapak, mohon lah dipertimbangkan agar jangan terlalu berat hukumannya. Matur
nuwun.
Solo, 15 November 2016.
Note: Saat diposting di blog ini pada 16 Desember 2018, hakim Artidjo sudah pensiun.
No comments:
Post a Comment