Judul di atas terinspirasi dari salah satu adegan film Ada Apa Dengan Cinta (AADC) 2 karya Riri Reza. Di AADC 1 Cinta ditinggal pergi Rangga dan dijanjikan sang kekasih akan kembali pada purnama berikutnya. Faktanya, Riri Reza baru membuat sekuel kedua setelah 14 tahun berselang.
Semula saya membayangkan gambaran kekecewaan Cinta
ditinggal pergi Rangga belasan tahun akan dilukiskan dengan kemarahan yang
meledak-ledak disertai amukan. Nyatanya cukup dengan kalimat ‘Rangga, yang kamu
lakukan itu jahat.’
Kita--bangsa Indonesia—sangat marah dengan apa yang
terjadi di Mahkamah Agung (MA). Dagang perkara di MA selama ini seperti kentut.
Bau busuknya sangat menyengat tapi tidak pernah bisa dibuktikan.
Dalam kasus penangkapan Kepala
Subdirektorat Kasasi Perdata Mahkamah
Agung (MA) Andri Tristianto Sutrisna bau
kentut itu ditemukan buktinya. Percakapan Andri dan koleganya sesama mafia
hukum melalui handphone berhasil
disadap KPK. Isinya sungguh bikin muak. Sebagai orang dalam MA Andri bukan
sekadar membeber data rahasia MA ke pihak beperkara tapi juga menjadi inisiator
transaksi perkara. Entah sudah berapa ratus perkara yang diolah oleh Andri dan
komplotannya.
Sebenarnya terlalu sederhana jika gambaran kemarahan
publik hanya dilukiskan dengan kalimat pembuka di atas. Bagi sebagian orang
mungkin marahnya sudah di ubun-ubun. Namun apa yang bisa kita lakukan selain
berharap hakim bisa menghukum para mafia hukum itu dengan vonis seberat-beratnya.
Bisakah?
Rasanya, vonis terhadap para koruptor selama ini
mirip dengan kemarahan Cinta kepada Rangga, antiklimaks. Tak setara dengan
kehebohan proses penangkapan para pelaku. KPK sendiri berulang kali menyatakan
kecewa dengan vonis para terdakwa. Rasanya tidak imbang antara vonis dengan
proses penyelidikan, penyadapan hingga penangkapan para pelaku, khususnya yang
melibatkan para pengadil hukum.
Dari berbagai vonis yang pernah diketok memang terasa
para hakim menghukum dengan setengah hati. Ada celetukan ‘hakim memvonis ringan
agar tidak terjadi karma, suatu saat vonis yang sama akan menimpa mereka.’ Kasus
hakim Pragsono dan kawan-kawan di Pengadilan Tipikor Semarang barangkali salah
satu contohnya. Pragsono dkk. adalah hakim Pengadilan Tipikor yang akhirnya
harus duduk di kursi terdakwa karena menerima suap.
Hingga kini vonis tertinggi kasus suap dan korupsi
yang melibatkan penegak hukum terjadi pada mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK)
Akil Mochtar. Akil dipenjara seumur hidup karena menerima suap dalam kasus 10
sengketa pemilihan kepala daerah yang perkaranya bergulir di MK. Di bawahnya
adalah jaksa Urip Tri Gunawan yang dihukum 20 tahun penjara dalam kasus
obligasi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Sjamsul Nursalim.
Selebihnya merupakan vonis ringan. Contohnya adalah
hukuman untuk mantan hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan, Amir
Fauzi. Amir menerima suap dari pengacara gaek Otto Cornelis Kaligis agar
mengabulkan gugatan atas surat penyelidikan kasus bantuan sosial di Pemprov
Sumatera Utara. Untuk perkara ini Amir
hanya dihukum dua tahun penjara.
Indonesia Corruption Watch (ICW) pada Juli lalu
merilis data yang mengkhawatirkan publik. Berdasarkan pemantauan ICW selama
semester pertama 2016 disimpulkan vonis untuk para koruptor dan mafia hukum
cenderung semakin ringan.
Pantauan ICW pada Januari hingga Juni
2016 terdapat 325 perkara korupsi dengan 384 terdakwa yang telah diperiksa dan
diputus oleh pengadilan, baik di tingkat pertama, banding, kasasi, maupun peninjauan
kembali (PK). Perkara yang dipantau berasal dari Pengadilan Tipikor (243
perkara), Pengadilan Tinggi (67 perkara), dan Mahkamah Agung baik kasasi maupun
PK (15 perkara).
Dari total 384 terdakwa, sebanyak 275 orang
atau 71,6 persen di antaranya mendapatkan vonis ringan dari satu sampai empat
tahun penjara. Sedangkan 46 terdakwa divonis bebas, 37 orang divonis sedang,
tujuh terdakwa divonis berat, dan 19 lainnya tak teridentifikasi.
Menurut peneliti ICW Aradila Caesar,
tren vonis ringan sebenarnya telah terjadi sepanjang lima tahun terakhir. Pada
2012 tercatat hakim menjatuhkan vonis ringan terhadap
99 terdakwa, 2013 sebanyak 93 terdakwa, 2014 ada 195 terdakwa, dan 2015 berjumlah
163 terdakwa.
ICW mencatat, rata-rata putusan pidana
penjara bagi koruptor pada 2013 adalah 2
tahun 11 bulan, 2014 angka rata-ratanya menjadi 2 tahun 8 bulan, 2015
turun lagi 2 tahun 2 bulan, dan semester I tahun 2016 menjadi 2 tahun 1 bulan.
(Solopos, 25 Juli 2016).
Ringannya
vonis ini mungkin yang membuat jumlah pengemplang uang negara bukan berkurang
malah bertambah. Meski berulang kali KPK melakukan operasi tangkap tangan
nyatanya seperti tidak ada ketakutan dari para calon koruptor lainnya untuk
berbuat hal yang sama. Toh vonisnya ringan. Belum lagi harapan besar memperoleh
remisi yang dalam setahun minimal dua kali yakni saat Lebaran dan HUT Kemerdekaan
RI.
Terbukanya borok MA membuat perut mual. Marah,
dongkol, kecewa, benci bercampur jadi satu. Betapa tidak, untuk melakukan
perbuatan laknat itu para mafia masih berharap ada berkah dari Tuhan. Misalnya
kalimat Andri kepada Taufik, besan Sekretaris MA Nurhadi. “Insya Allah. Semoga main pinggir kita lancar”. Kalimat doa
itu diungkapkan Andri sebagai penutup percakapannya dengan Taufik dalam perkara
perkara gugatan Partai Golkar kubu Ical Vs Agung Laksono.
Terbukanya
percakapan Andri sekaligus juga membuat publik tahu tentang peta hakim di MA. Ada
hakim yang kuat memegang prinsip sebagai wakil Tuhan, ada pula yang gampang
dilobi. Hakim agung Artidjo Alkostar
yang selama ini dikenal garang menghukum koruptor termasuk yang dihindari.
Hal ini tercermin dari pesan Whatsapp Andri kepada staf panitera muda MA, Kosidah. “Tolong dicek yang ajukan
kasasi jaksa atau terdakwa. Mudah-mudahan majelisnya bukan AA (Artidjo
Alkostar)”. Atas pesan ini Kosidah pun membalas, “Nanti dilacak nomor kasasinya
untuk penetapan. Mudah-mudahan bukan AA.” (Solopos,
4 Juli 2016).
Jika
Artidjo Alkostar layak dipuji karena dihindari mafia hukum, hakim agung Syarifuddin
sebaliknya menjadi pihak yang kebakaran jenggot. Namanya disebut dengan nada
negatif dalam pesan Kosidah kepada Andri. “Sekarang Pak Syarifuddin banyak
nganggur. Maksud saya kan sama saja, tidak usah fokus majelis ATM, Mas Andri
tambahin saja mintanya.” Untuk fakta
ini Syarifuddin sudah tegas membantah.
Rekaman percakapan para mafia hukum yang dibeber KPK
di persidangan benar-benar membelalakkan mata kita. Orang-orang seperti Andri
tidak layak mendapat pengampunan di mata hukum. Ia selayaknya mendapat hukuman
setara dengan Akil Mochtar atau bahkan lebih. Sebagai orang yang bertugas di
lembaga penegakan hukum—meski secara administratif—apa yang dilakukan Andri
benar-benar jahat.
Sulit untuk diterima akal jika akhirnya vonis Andri
bakal seperti terpidana yang lain, antiklimaks layaknya adegan kemarahan Cinta
kepada Rangga. Sayangnya, dalam persidangan 4 Agustus lalu jaksa KPK hanya
menuntut Andri dengan hukuman 13 tahun penjara. Kita berharap hakim yang
mengadili Andri termasuk pada peta hakim berintegritas seperti Artidjo Alkostar.
Sehingga, vonisnya bisa melegakan publik. Kita berharap vonis terhadap Andri dan
orang-orang sejenis bisa membuat masyarakat percaya bahwa semua sama di mata
hukum. Semoga.
Note: Artikel dimuat Solopos, 21 Agustus 2016
No comments:
Post a Comment