Sunday, December 16, 2018

Andri, Yang Kamu Lakukan Itu Jahat


Judul di atas terinspirasi dari salah satu adegan film Ada Apa Dengan Cinta (AADC) 2 karya Riri Reza. Di AADC 1 Cinta ditinggal pergi Rangga dan dijanjikan sang kekasih akan kembali pada purnama berikutnya. Faktanya, Riri Reza baru membuat sekuel kedua setelah 14 tahun berselang.
Semula saya membayangkan gambaran kekecewaan Cinta ditinggal pergi Rangga belasan tahun akan dilukiskan dengan kemarahan yang meledak-ledak disertai amukan. Nyatanya cukup dengan kalimat ‘Rangga, yang kamu lakukan itu jahat.’
Kita--bangsa Indonesia—sangat marah dengan apa yang terjadi di Mahkamah Agung (MA). Dagang perkara di MA selama ini seperti kentut. Bau busuknya sangat menyengat tapi tidak pernah bisa dibuktikan.
Dalam kasus penangkapan Kepala Subdirektorat Kasasi Perdata Mahkamah Agung (MA) Andri Tristianto Sutrisna bau kentut itu ditemukan buktinya. Percakapan Andri dan koleganya sesama mafia hukum melalui handphone berhasil disadap KPK. Isinya sungguh bikin muak. Sebagai orang dalam MA Andri bukan sekadar membeber data rahasia MA ke pihak beperkara tapi juga menjadi inisiator transaksi perkara. Entah sudah berapa ratus perkara yang diolah oleh Andri dan komplotannya.
Sebenarnya terlalu sederhana jika gambaran kemarahan publik hanya dilukiskan dengan kalimat pembuka di atas. Bagi sebagian orang mungkin marahnya sudah di ubun-ubun. Namun apa yang bisa kita lakukan selain berharap hakim bisa menghukum para mafia hukum itu dengan vonis seberat-beratnya. Bisakah?
Rasanya, vonis terhadap para koruptor selama ini mirip dengan kemarahan Cinta kepada Rangga, antiklimaks. Tak setara dengan kehebohan proses penangkapan para pelaku. KPK sendiri berulang kali menyatakan kecewa dengan vonis para terdakwa. Rasanya tidak imbang antara vonis dengan proses penyelidikan, penyadapan hingga penangkapan para pelaku, khususnya yang melibatkan para pengadil hukum. 
Dari berbagai vonis yang pernah diketok memang terasa para hakim menghukum dengan setengah hati. Ada celetukan ‘hakim memvonis ringan agar tidak terjadi karma, suatu saat vonis yang sama akan menimpa mereka.’ Kasus hakim Pragsono dan kawan-kawan di Pengadilan Tipikor Semarang barangkali salah satu contohnya. Pragsono dkk. adalah hakim Pengadilan Tipikor yang akhirnya harus duduk di kursi terdakwa karena menerima suap. 
Hingga kini vonis tertinggi kasus suap dan korupsi yang melibatkan penegak hukum terjadi pada mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar. Akil dipenjara seumur hidup karena menerima suap dalam kasus 10 sengketa pemilihan kepala daerah yang perkaranya bergulir di MK. Di bawahnya adalah jaksa Urip Tri Gunawan yang dihukum 20 tahun penjara dalam kasus obligasi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Sjamsul Nursalim.
Selebihnya merupakan vonis ringan. Contohnya adalah hukuman untuk mantan hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan, Amir Fauzi. Amir menerima suap dari pengacara gaek Otto Cornelis Kaligis agar mengabulkan gugatan atas surat penyelidikan kasus bantuan sosial di Pemprov Sumatera Utara. Untuk perkara ini Amir  hanya dihukum dua tahun penjara.
Indonesia Corruption Watch (ICW) pada Juli lalu merilis data yang mengkhawatirkan publik. Berdasarkan pemantauan ICW selama semester pertama 2016 disimpulkan vonis untuk para koruptor dan mafia hukum cenderung semakin ringan.
Pantauan ICW pada Januari hingga Juni 2016 terdapat 325 perkara korupsi dengan 384 terdakwa yang telah diperiksa dan diputus oleh pengadilan, baik di tingkat pertama, banding, kasasi, maupun peninjauan kembali (PK). Perkara yang dipantau berasal dari Pengadilan Tipikor (243 perkara), Pengadilan Tinggi (67 perkara), dan Mahkamah Agung baik kasasi maupun PK (15 perkara).
Dari total 384 terdakwa, sebanyak 275 orang atau 71,6 persen di antaranya mendapatkan vonis ringan dari satu sampai empat tahun penjara. Sedangkan 46 terdakwa divonis bebas, 37 orang divonis sedang, tujuh terdakwa divonis berat, dan 19 lainnya tak teridentifikasi.
Menurut peneliti ICW Aradila Caesar, tren vonis ringan sebenarnya telah terjadi sepanjang lima tahun terakhir. Pada 2012 tercatat hakim menjatuhkan vonis ringan terhadap 99 terdakwa, 2013 sebanyak 93 terdakwa, 2014 ada 195 terdakwa, dan 2015 berjumlah 163 terdakwa.
ICW mencatat, rata-rata putusan pidana penjara bagi koruptor pada 2013 adalah 2  tahun 11 bulan, 2014 angka rata-ratanya menjadi 2 tahun 8 bulan, 2015 turun lagi 2 tahun 2 bulan, dan semester I tahun 2016 menjadi 2 tahun 1 bulan. (Solopos, 25 Juli 2016).
Ringannya vonis ini mungkin yang membuat jumlah pengemplang uang negara bukan berkurang malah bertambah. Meski berulang kali KPK melakukan operasi tangkap tangan nyatanya seperti tidak ada ketakutan dari para calon koruptor lainnya untuk berbuat hal yang sama. Toh vonisnya ringan. Belum lagi harapan besar memperoleh remisi yang dalam setahun minimal dua kali yakni saat Lebaran dan HUT Kemerdekaan RI.
Terbukanya borok MA membuat perut mual. Marah, dongkol, kecewa, benci bercampur jadi satu. Betapa tidak, untuk melakukan perbuatan laknat itu para mafia masih berharap ada berkah dari Tuhan. Misalnya kalimat Andri kepada Taufik, besan Sekretaris MA Nurhadi. “Insya Allah. Semoga main pinggir kita lancar”. Kalimat doa itu diungkapkan Andri sebagai penutup percakapannya dengan Taufik dalam perkara perkara gugatan Partai Golkar kubu Ical Vs Agung Laksono.
Terbukanya percakapan Andri sekaligus juga membuat publik tahu tentang peta hakim di MA. Ada hakim yang kuat memegang prinsip sebagai wakil Tuhan, ada pula yang gampang dilobi. Hakim agung Artidjo Alkostar yang selama ini dikenal garang menghukum koruptor termasuk yang dihindari.
Hal ini tercermin dari pesan Whatsapp Andri kepada staf panitera muda MA, Kosidah. “Tolong dicek yang ajukan kasasi jaksa atau terdakwa. Mudah-mudahan majelisnya bukan AA (Artidjo Alkostar)”. Atas pesan ini Kosidah pun membalas, “Nanti dilacak nomor kasasinya untuk penetapan. Mudah-mudahan bukan AA.” (Solopos, 4 Juli 2016).
Jika Artidjo Alkostar layak dipuji karena dihindari mafia hukum, hakim agung Syarifuddin sebaliknya menjadi pihak yang kebakaran jenggot. Namanya disebut dengan nada negatif dalam pesan Kosidah kepada Andri. “Sekarang Pak Syarifuddin banyak nganggur. Maksud saya kan sama saja, tidak usah fokus majelis ATM, Mas Andri tambahin saja mintanya.” Untuk fakta ini Syarifuddin sudah tegas membantah.
Rekaman percakapan para mafia hukum yang dibeber KPK di persidangan benar-benar membelalakkan mata kita. Orang-orang seperti Andri tidak layak mendapat pengampunan di mata hukum. Ia selayaknya mendapat hukuman setara dengan Akil Mochtar atau bahkan lebih. Sebagai orang yang bertugas di lembaga penegakan hukum—meski secara administratif—apa yang dilakukan Andri benar-benar jahat.
Sulit untuk diterima akal jika akhirnya vonis Andri bakal seperti terpidana yang lain, antiklimaks layaknya adegan kemarahan Cinta kepada Rangga. Sayangnya, dalam persidangan 4 Agustus lalu jaksa KPK hanya menuntut Andri dengan hukuman 13 tahun penjara. Kita berharap hakim yang mengadili Andri termasuk pada peta hakim berintegritas seperti Artidjo Alkostar. Sehingga, vonisnya bisa melegakan publik. Kita berharap vonis terhadap Andri dan orang-orang sejenis bisa membuat masyarakat percaya bahwa semua sama di mata hukum. Semoga. 


Note: Artikel dimuat Solopos, 21 Agustus 2016

No comments:

Post a Comment

PETAHANA OH PETAHANA

Presiden Joko Widodo membombardir publik dengan sejumlah kebijakan populis di tahun politik. Setelah menaikkan anggaran perli...