Sunday, December 16, 2018

Rio Haryanto, Harapan yang Pernah Ada



Namanya Rio Haryanto. Usianya baru 23 tahun pada 22 Januari 2016 lalu. Putra asli Solo itu tidak perlu setua Ketua Persatuan Sepak Bola Indonesia (PSSI) La Nyalla Mattalitti atau Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi untuk membuat Indonesia bangga.  Bahkan ia hanya perlu waktu enam tahun untuk menorehkan sejarah sejak pertama berpartisipasi dalam ajang GP3 Series pada 2010 silam.
Rio juga tidak perlu berebut benar untuk unjuk prestasi bagi Indonesia, seperti yang ditampilkan La Nyalla dan Menpora beberapa bulan terakhir terkait kisruh di PSSI.  Rio tak pernah berkoar-koar di media untuk membuktikan bakti kepada negeri. Cukup tekun dan telaten di bidangnya lalu prestasi menghampiri.
Di usia semuda itu Rio Haryanto telah menjadi fenomena. Empat belas tahun silam tidak banyak orang mengenalnya kala ia kali pertama menggeluti olahraga gokart. Mungkin hanya keluarga, kerabat dan awak media di Solo yang tahu tentang keuletan seorang Rio. Tapi siapa sangka, putra bungsu Sinyo Haryanto dan Indah Pennywati itu kini membuat ratusan juta rakyat Indonesia bisa berjalan tegak karena kita bersejajar dengan Italia, Spanyol dan negara maju lainnya di ajang balapan paling bergengsi, Formula 1.
Rio membuat dirinya dan Indonesia mendunia. Dan tentu kita berharap, partisipasi Rio di ajang olahraga bergengsi itu kelak kian membuat Indonesia dikenal dunia. Harap diketahui, hingga saat ini di luar sana tak banyak orang tahu tentang Indonesia. Indonesia bahkan kalah terkenal dari Bali, salah satu pulau yang menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Dan saya membuktikan hal ini. Saat mendapat undangan menyaksikan salah satu pertandingan Piala Dunia Brasil pada Juni 2014, setiap kali saya mengenalkan diri dari Indonesia orang-orang di Brasil bingung. Tapi ketika saya menyebut Bali, mereka langsung bilang “Oh I see”.
Rio membuat kita bangga. Cowok berzodiak Aquarius itu bakal beradu cepat dengan jago-jago balap dunia macam Kimmi Raikonnen, Lewis Hamilton, Jenson Button dan lain-lain.  Selama ini kita hanya mengagumi para penunggang jet darat itu dari layar kaca tanpa ada kebanggaan batin. Sebab, para tukang ngebut itu memang tak sebangsa dengan kita. Cukup mengagumi tanpa prestise.
Tapi itu dulu. Saat ini kita punya gacoan baru. Dia adalah Rio Haryanto, pemuda kalem asal Kota Bengawan. Entah bagaimana pun nanti prestasi Rio, cukup melihatnya beradu cepat dengan pembalap dunia sudah membuat kita tersenyum lebar. “Mas Bro…kita punya pembalap kelas dunia.” Syukur-syukur jika nanti Rio bisa membuat keajaiban-keajaiban baru lainnya.
Fenomena Rio datang di saat yang tepat. Saat ini tidak ada cabang olahraga yang membuat kita bangga. Di cabang tinju Indonesia sudah tidak punya juara dunia. Chris John yang tak terkalahkan dalam 51 pertarungan sepanjang kariernya sudah gantung sarung tinju setelah takluk dari jawara Afrika Selatan, Simpiwe Vetyeka, pada 6 Desember 2013 lalu.
Bulu tangkis, olah raga yang sejak beberapa dekade silam menjadi kebanggaan bangsa juga mulai meredup. Sepak bola? Ah, apalagi ini. Alih-alih bikin prestasi, malah membuat kita malu luar biasa. Untuk kali pertama sepanjang sejarah Indonesia mendapat sanksi dari FIFA sebagai akibat kisruh pengelolaan sepak bola sejak 2010 silam.
Fenomena Rio bak oase di padang pasir nan gersang. Rio seperti mengajari kita bahwa prestasi hanya bisa didapat dari kerja keras, keuletan dan profesionalitas. Bahwa prestasi bukan didapat dari cara-cara instan. Bukan seperti program naturalisasi oleh PSSI yang hasilnya nol besar. Impor pemain asing tidak membuahkan prestasi malah menjadikan Indonesia bulan-bulanan Vietnam, Malaysia bahkan Brunei Darussalam.
Fakta membuktikan, kebanggaan Indonesia di bidang sepak bola pun berasal dari kerja keras seorang Indra Safrie mengumpulkan dan menggembleng 22 anak muda selama dua tahun penuh.  Saat itu Indra Safrie bahkan tak dibayar sepeser pun oleh PSSI karena induk sepak bola itu sedang dilanda dualisme. Dan cucuran keringat, ketekunan serta doa anak-anak muda Indonesia itu yang membuat kita memboyong gelar Piala AFF U19 pada September 2013 lalu. Cucuran keringat, ketekunan dan doa itu pula yang kini dibuktikan Rio. Selama empat belas tahun lebih ia menekuni bidangnya tanpa berpolemik. Hasilnya: luar biasa!
Partisipasi Rio di ajang F1 membutuhkan dana sekitar Rp226 miliar. Besar? Relatif, tergantung dari sudut mana kita memandang. Jika kita melihat hanya dari sudut pandang sebuah cabang olahraga dan seorang atlet, dana itu kelihatan “wah”. Sekadar pembanding, uang Rp226 miliar itu bisa dipakai untuk memutar roda kompetisi sepak bola Indonesia (ISL) selama empat musim. CEO PT Liga Indonesia, Joko Driyono, menyebut untuk menggelar kompetisi yang diikuti 18 tim ISL pihaknya membutuhkan dana Rp50 miliar (Solopos, 13 Mei 2015).
Tapi jika kita melihat dari sudut pandang investasi jangka panjang maka dana itu terbilang kecil. Keikutsertaan Rio membuat nama Indonesia mendunia. Indonesia akan disegani dunia internasional. Orang luar akan memandang negara kita tak lagi dengan sebelah mata. Iklim pariwisata terdongkrak, perekonomian terangkat. Dalam jangka panjang ekonomi akan bertumbuh. Apalah arti ratusan miliar rupiah jika nantinya Indonesia akan mendapatkan dana triliunan rupiah dari kunjungan wisata dan penanaman investasi. Apalagi, pemerintahan Jokowi saat ini gencar dengan perbaikan dan pembuatan sarana infrastruktur.
Dan perlu dicatat, Rp226 miliar masih kalah jauh dari uang negara yang dikorupsi para “tikus berdasi”. Data di Indonesia Corruption Watch (ICW), sepanjang 2015 saja kerugian negara akibat korupsi mencapai Rp31 triliun. Dana itu diembat para abdi negara mulai anggota DPR/DPRD serta pejabat pemerintahan selevel gubernur/walikota/bupati hingga pejabat di tingkat kecamatan dan kelurahan.
Akhirnya, kepada Rio kita belajar tentang arti sebuah prestasi. Tentang arti pengorbanan untuk negeri. Dari Rio kita belajar mengekang ego dan mengedepankan ketekunan serta profesionalitas. Kita berharap akan muncul Rio-Rio baru di masa mendatang. Semoga. 

Artikel ini dimuat Harian Umum Solopos, 25 Februari 2016

No comments:

Post a Comment

PETAHANA OH PETAHANA

Presiden Joko Widodo membombardir publik dengan sejumlah kebijakan populis di tahun politik. Setelah menaikkan anggaran perli...