Namanya Rio Haryanto. Usianya baru 23 tahun pada 22 Januari 2016
lalu. Putra asli Solo itu tidak perlu setua Ketua Persatuan Sepak Bola
Indonesia (PSSI) La Nyalla Mattalitti atau Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora)
Imam Nahrawi untuk membuat Indonesia bangga. Bahkan ia hanya perlu waktu enam tahun untuk
menorehkan sejarah sejak pertama berpartisipasi dalam ajang GP3 Series pada 2010
silam.
Rio juga tidak perlu berebut benar untuk unjuk prestasi bagi
Indonesia, seperti yang ditampilkan La Nyalla dan Menpora beberapa bulan
terakhir terkait kisruh di PSSI. Rio tak
pernah berkoar-koar di media untuk membuktikan bakti kepada negeri. Cukup tekun
dan telaten di bidangnya lalu prestasi menghampiri.
Di usia semuda itu Rio Haryanto telah menjadi fenomena. Empat
belas tahun silam tidak banyak orang mengenalnya kala ia kali pertama
menggeluti olahraga gokart. Mungkin hanya keluarga, kerabat dan awak media di
Solo yang tahu tentang keuletan seorang Rio. Tapi siapa sangka, putra bungsu
Sinyo Haryanto dan Indah Pennywati itu kini membuat ratusan juta rakyat
Indonesia bisa berjalan tegak karena kita bersejajar dengan Italia, Spanyol dan
negara maju lainnya di ajang balapan paling bergengsi, Formula 1.
Rio membuat dirinya dan Indonesia mendunia. Dan tentu kita berharap,
partisipasi Rio di ajang olahraga bergengsi itu kelak kian membuat Indonesia
dikenal dunia. Harap diketahui, hingga saat ini di luar sana tak banyak orang
tahu tentang Indonesia. Indonesia bahkan kalah terkenal dari Bali, salah satu
pulau yang menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Dan saya membuktikan hal ini. Saat mendapat undangan
menyaksikan salah satu pertandingan Piala
Dunia Brasil pada Juni 2014, setiap kali saya mengenalkan diri dari
Indonesia orang-orang di Brasil bingung. Tapi ketika saya menyebut Bali, mereka
langsung bilang “Oh I see”.
Rio membuat kita bangga. Cowok berzodiak Aquarius itu bakal beradu
cepat dengan jago-jago balap dunia macam Kimmi Raikonnen, Lewis Hamilton,
Jenson Button dan lain-lain. Selama ini
kita hanya mengagumi para penunggang jet darat itu dari layar kaca tanpa ada
kebanggaan batin. Sebab, para tukang ngebut itu memang tak sebangsa dengan
kita. Cukup mengagumi tanpa prestise.
Tapi itu dulu. Saat ini kita punya gacoan baru. Dia adalah
Rio Haryanto, pemuda kalem asal Kota Bengawan. Entah bagaimana pun nanti
prestasi Rio, cukup melihatnya beradu cepat dengan pembalap dunia sudah membuat
kita tersenyum lebar. “Mas Bro…kita punya pembalap kelas dunia.” Syukur-syukur
jika nanti Rio bisa membuat keajaiban-keajaiban baru lainnya.
Fenomena Rio datang di saat yang tepat. Saat
ini tidak ada cabang olahraga yang membuat kita bangga. Di cabang tinju
Indonesia sudah tidak punya juara dunia. Chris John yang tak terkalahkan dalam
51 pertarungan sepanjang kariernya sudah gantung sarung tinju setelah takluk
dari jawara Afrika Selatan, Simpiwe Vetyeka, pada 6 Desember 2013 lalu.
Bulu tangkis, olah raga yang sejak beberapa dekade
silam menjadi kebanggaan bangsa juga mulai meredup. Sepak bola? Ah, apalagi
ini. Alih-alih bikin prestasi, malah membuat kita malu luar biasa. Untuk kali
pertama sepanjang sejarah Indonesia mendapat sanksi dari FIFA sebagai akibat
kisruh pengelolaan sepak bola sejak 2010 silam.
Fenomena Rio bak oase di padang pasir nan gersang. Rio
seperti mengajari kita bahwa prestasi hanya bisa didapat dari kerja keras,
keuletan dan profesionalitas. Bahwa prestasi bukan didapat dari cara-cara
instan. Bukan seperti program naturalisasi oleh PSSI yang hasilnya nol besar. Impor
pemain asing tidak membuahkan prestasi malah menjadikan Indonesia bulan-bulanan
Vietnam, Malaysia bahkan Brunei Darussalam.
Fakta membuktikan, kebanggaan Indonesia di bidang sepak bola pun
berasal dari kerja keras seorang Indra Safrie mengumpulkan dan menggembleng 22
anak muda selama dua tahun penuh. Saat
itu Indra Safrie bahkan tak dibayar sepeser pun oleh PSSI karena induk sepak
bola itu sedang dilanda dualisme. Dan cucuran keringat, ketekunan serta doa
anak-anak muda Indonesia itu yang membuat kita memboyong gelar Piala AFF U19
pada September 2013 lalu. Cucuran keringat, ketekunan dan doa itu pula yang
kini dibuktikan Rio. Selama empat belas tahun lebih ia menekuni bidangnya tanpa
berpolemik. Hasilnya: luar biasa!
Partisipasi
Rio di ajang F1 membutuhkan dana sekitar Rp226 miliar. Besar? Relatif,
tergantung dari sudut mana kita memandang. Jika kita melihat hanya dari sudut pandang
sebuah cabang olahraga dan seorang atlet, dana itu kelihatan “wah”. Sekadar pembanding,
uang Rp226 miliar itu bisa dipakai untuk memutar roda kompetisi sepak bola
Indonesia (ISL) selama empat musim. CEO PT Liga Indonesia, Joko Driyono, menyebut
untuk menggelar kompetisi yang diikuti 18 tim ISL pihaknya membutuhkan dana
Rp50 miliar (Solopos, 13 Mei 2015).
Tapi jika kita melihat dari sudut pandang investasi jangka
panjang maka dana itu terbilang kecil. Keikutsertaan Rio membuat nama Indonesia
mendunia. Indonesia akan disegani dunia internasional. Orang luar akan
memandang negara kita tak lagi dengan sebelah mata. Iklim pariwisata terdongkrak,
perekonomian terangkat. Dalam jangka panjang ekonomi akan bertumbuh. Apalah arti
ratusan miliar rupiah jika nantinya Indonesia akan mendapatkan dana triliunan rupiah
dari kunjungan wisata dan penanaman investasi. Apalagi, pemerintahan Jokowi
saat ini gencar dengan perbaikan dan pembuatan sarana infrastruktur.
Dan perlu dicatat, Rp226 miliar masih kalah jauh dari uang negara
yang dikorupsi para “tikus berdasi”. Data di Indonesia Corruption Watch (ICW),
sepanjang 2015 saja kerugian negara akibat korupsi mencapai Rp31 triliun. Dana
itu diembat para abdi negara mulai anggota DPR/DPRD serta pejabat pemerintahan selevel
gubernur/walikota/bupati hingga pejabat di tingkat kecamatan dan kelurahan.
Akhirnya, kepada Rio kita belajar tentang arti sebuah
prestasi. Tentang arti pengorbanan untuk negeri. Dari Rio kita belajar
mengekang ego dan mengedepankan ketekunan serta profesionalitas. Kita berharap
akan muncul Rio-Rio baru di masa mendatang. Semoga.
Artikel ini dimuat Harian Umum Solopos, 25 Februari 2016
No comments:
Post a Comment