Dulu saya pernah
sepakat dengan kalimat satir ini, “Polisi baik di negeri ini hanya ada tiga:
Jenderal Hoegeng, patung polisi dan polisi tidur.”
Lambat laun permafhuman
saya tentang sindiran dari presiden nyentrik K.H. Abdurahman Wahid (Gus Dur)
itu mulai luntur.
Memang banyak polisi
jahat nan korup tapi tidak sedikit kok penegak hukum yang baik, yang taat
beribadah, yang takut korupsi, yang tak bisa tidur jika disuruh atasan memainkan
perkara, yang suka membantu sesama, yang rajin berkegiatan sosial, yang
mengasuh pondok pesantren.
Dari sekian banyak
polisi baik, yang ingin saya tulis di sini adalah Kapolda Sulawesi Selatan
Irjen Pol. Umar Septono. Kenapa dia? Karena posisinya yang tinggi di Kepolisian
Republik Indonesia. Meski hingga tulisan ini muncul posisi Umar belum selevel
Hoegeng—Kepala Polri di era Soeharto--setidaknya pangkat jenderalnya layak
untuk dibahas terkait dengan sifat baik yang ia miliki.
Silakan ketik “Umar Septono”
di mesin pencari di Internet niscaya Anda akan mendapati banyak informasi
tentang wong Purbalingga, Jawa Tengah yang kini berusia 56 tahun atau lebih tua
dua tahun dari atasannya, Jenderal Polisi Tito Karnavian ini.
“Siapapun yang memimpin
rapat, jika sudah tiba waktu salat akan saya tinggalkan. Saya lebih memilih
kehilangan jabatan daripada harus kehilangan salat saya. Bagi saya Tuhan lebih
penting dari segalanya,” ucapan sang jenderal dalam salah satu apel pagi di hadapan
ratusan anggotanya itu viral di Youtube dan media sosial sejak beberapa waktu
lalu.
Bagi kalangan umat
Islam, termasuk saya, ucapan Umar memercik bak oase di padang pasir. Ternyata
masih ada ya polisi baik di negeri ini, jenderal lagi. Rasa takjub saya berubah
jadi haru kala mendapati banyak aktivitas “wow” yang ia lakukan di sela-sela
melaksanakan tugas sebagai orang nomor satu di Polda Sulawesi Selatan. Ia tak
segan memunguti sampah yang berceceran di setiap acara yang ia hadiri. Mantan
Kapolda Nusa Tenggara Barat itu juga kerap secara spontan memberi sedekah
kepada petugas kebersihan yang ia temui di jalan.
Sebagai atasan Umar tak
ragu membaur bersama bawahan atau makan bareng tahanan di penjara. Jenderal
polisi yang dua tahun lagi pensiun itu selalu mengapreasiasi kinerja baik bawahannya.
Umar tak marah kala mobilnya dihentikan anggota Satlantas karena sang bawahan ingin
menyeberangkan seorang nenek-nenek.
“Kenapa kamu
menghentikan mobil saya?” tanya Umar Septono kala memanggil dua polisi, Brigadir
I Ketut Surya Ningrat dan Brigadir Indra Jaya Kusuma, yang bertugas di jalur bypass
Bandara Internasional Lombok (BIL), Juli 2016 silam.
“Siap! Mohon maaf
Jenderal, perjalanan Bapak terganggu, saya sedang melayani masyarakat yang
menyeberang,” jawab keduanya datar.
Bukannya
marah, jenderal polisi yang menghabiskan nyaris separuh kariernya di lalu
lintas itu justru mengapresiasi dua polisi yang menghentikan rombongannya.
“Bagus, itu yang benar. Kalian bertugas melayani masyarakat bukan melayani
atasan,” sahut Umar.
Saat mendengar ada anggotanya, Briptu Muzakkir
mengalami kebutaan sang jenderal langsung mendatangi ke rumahnya, mencium
tangannya lalu memberi bantuan. Perbuatan serupa sering ia lakukan di tempat
umum. Kala bertemu seorang ibu tua di pasar, Kapolda yang tengah melintas
mendekati dan mencium tangan perempuan tua itu.
Saya tidak sedang mengkultuskan
seseorang. Pun saya tidak ingin mendewa-dewakan manusia. Tulisan ini lebih karena
perasaan takjub bahwa ada seorang jenderal polisi yang memiliki akhlak dan
keteladanan yang bisa dibilang langka. Tulisan ini merupakan ekspresi
kegembiraan dan kebahagiaan bahwa mencari polisi baik di negeri ini bukanlah
mimpi.
Jujurkah Umar Septono
dalam setiap tindakannya atau jangan-jangan hanya pencitraan? Hanya dia dan
Tuhan yang tahu. Dan menghakimi hati seseorang bukanlah tindakan yang bisa
dibenarkan. Biarlah waktu yang akan membuktikan semuanya, tindakannya murni karena
nurani atau karena ada motif duniawi.
Jenderal Umar tentu
berbeda dengan sosok warga kebanyakan. Ia seorang pemimpin. Kesalehan pribadinya
akan mempengaruhi institusi yang ia
pimpin, persis yang terjadi pada Jenderal Hoegeng puluhan tahun silam. Bawahan
akan mengikuti apa kata atasan. Teladan baik dari pemimpin akan diikuti orang
yang dipimpinnya.
Jawaban Brigadir
I Ketut Surya Ningrat dan Brigadir Indra Jaya Kusuma di atas menyiratkan hal
itu. Ada kepercayaan dari bawahan bahwa hal baik yang mereka lakukan direstui
atasan. Bahwa melayani masyarakat adalah kewajiban yang melekat di diri polisi
tanpa harus berbenturan dengan kepentingan atasan.
Akankah gejala baik ini
bakal mewabah ke semua polisi? Bisakah moto polisi “Ikhlas Melayani Tulus
Melindungi” benar-benar terwujud? Waktu yang akan menjawabnya.
Polisi telanjur
diidentikkan dengan “asal tilang”, “main 86”, merekayasa pasal, dan lain
sebagainya. Keberadaan Umar Septono adalah antitesis dari stigma negatif itu.
Ia menggenapi kisah heroik kepolisian yang selama ini disematkan kepada
Jenderal Hoegeng, Kapolri di era Orde Baru, yang harus rela dicopot karena
mempertahankan kejujuran dan citra Polri bersih.
Umar juga menjadi
bantahan atas kalimat satir Gus Dur tentang tiga polisi jujur. Kita yakin masih
ada—dan banyak—penegak hukum yang jujur di negeri ini. Masih banyak polisi
berhati mulia yang layak dijadikan contoh kebaikan.
Mari ke Jawa Timur. Di
sana ada Bripka Suwaji, anggota Satlantas Pasuruan yang dijuluki polisi berhati
malaikat karena kerap membantu masyarakat menyeberang jalan. Bukan sekadar
membantu menyeberang tetapi juga mengangkat barang bawaan masyarakat. Aksinya
yang terekam kamera dan menjadi viral adalah ketika ia menyeberangkan seorang
nenek sembari memanggul karung milik sang nenek.
Kita
merindukan Umar bakal seperti Hoegeng. Yang berani berseberangan dengan atasan
lalim, yang kukuh memperjuangkan aparat bersih, yang berani menindak siapapun yang
bersalah meski orang besar.
Masyarakat
merindukan jejak langkah pemimpin yang mampu mengarahkan bangsa keluar dari
perilaku koruptif para pejabat autis, yang asyik berebut kue kekuasaan dan
hanya memikirkan diri sendiri dan kelompoknya.
Saya
selalu percaya kesalehan vertikal akan berbanding lurus dengan kesalehan
horizontal. Seseorang yang saleh secara vertikal pasti akan alim secara
horizontal. Jika ada orang yang terbukti lalim secara horizontal pastilah ia
zalim secara vertikal kendati di permukaan tampak seperti orang suci.
Publik rindu
tokoh-tokoh bangsa yang memberi keteladanan. Masyarakat kangen menikmati
romantika pemimpin yang rela kelaparan asalkan rakyatnya berperut kenyang.
Setiap zaman butuh
keteladanan. Umat butuh pemimpin yang menjadi patokan bertindak. Setiap
pemimpin—entah di level dan institusi mana pun—wajib memberikan
keteladanan. Rangkaian gerbong kereta
api akan berjalan baik dan benar tergantung lokomotifnya. Maka pemimpin harus
menjadi lokomotif yang benar menentukan arah umat yang dipimpinnya.
Umar Septono adalah
bukti tentang harapan masih adanya orang baik di negeri ini. Bahwa tidak semua
pejabat culas dan licik, tak semua bejat dan rakus. Dan kita percaya
orang-orang seperti Umar dan Hoegeng masih bertebaran di pelosok nusantara. Mereka
butuh momentum dan panggung untuk tampil.
Kita berharap mereka
tampil ke publik dan menggelorakan semangat tulus mengabdi untuk negeri agar
bumi pertiwi tak lagi berurai air mata.
No comments:
Post a Comment