Sunday, December 16, 2018

Rindu Hoegeng, Kangen Umar






Dulu saya pernah sepakat dengan kalimat satir ini, “Polisi baik di negeri ini hanya ada tiga: Jenderal Hoegeng, patung polisi dan polisi tidur.”

Lambat laun permafhuman saya tentang sindiran dari presiden nyentrik K.H. Abdurahman Wahid (Gus Dur) itu mulai luntur.

Memang banyak polisi jahat nan korup tapi tidak sedikit kok penegak hukum yang baik, yang taat beribadah, yang takut korupsi, yang tak bisa tidur jika disuruh atasan memainkan perkara, yang suka membantu sesama, yang rajin berkegiatan sosial, yang mengasuh pondok pesantren. 

Dari sekian banyak polisi baik, yang ingin saya tulis di sini adalah Kapolda Sulawesi Selatan Irjen Pol. Umar Septono. Kenapa dia? Karena posisinya yang tinggi di Kepolisian Republik Indonesia. Meski hingga tulisan ini muncul posisi Umar belum selevel Hoegeng—Kepala Polri di era Soeharto--setidaknya pangkat jenderalnya layak untuk dibahas terkait dengan sifat baik yang ia miliki. 

Silakan ketik “Umar Septono” di mesin pencari di Internet niscaya Anda akan mendapati banyak informasi tentang wong Purbalingga, Jawa Tengah yang kini berusia 56 tahun atau lebih tua dua tahun dari atasannya, Jenderal Polisi Tito Karnavian ini.

“Siapapun yang memimpin rapat, jika sudah tiba waktu salat akan saya tinggalkan. Saya lebih memilih kehilangan jabatan daripada harus kehilangan salat saya. Bagi saya Tuhan lebih penting dari segalanya,” ucapan sang jenderal dalam salah satu apel pagi di hadapan ratusan anggotanya itu viral di Youtube dan media sosial sejak beberapa waktu lalu.

Bagi kalangan umat Islam, termasuk saya, ucapan Umar memercik bak oase di padang pasir. Ternyata masih ada ya polisi baik di negeri ini, jenderal lagi. Rasa takjub saya berubah jadi haru kala mendapati banyak aktivitas “wow” yang ia lakukan di sela-sela melaksanakan tugas sebagai orang nomor satu di Polda Sulawesi Selatan. Ia tak segan memunguti sampah yang berceceran di setiap acara yang ia hadiri. Mantan Kapolda Nusa Tenggara Barat itu juga kerap secara spontan memberi sedekah kepada petugas kebersihan yang ia temui di jalan.

Sebagai atasan Umar tak ragu membaur bersama bawahan atau makan bareng tahanan di penjara. Jenderal polisi yang dua tahun lagi pensiun itu selalu mengapreasiasi kinerja baik bawahannya. Umar tak marah kala mobilnya dihentikan anggota Satlantas karena sang bawahan ingin menyeberangkan seorang nenek-nenek.

“Kenapa kamu menghentikan mobil saya?” tanya Umar Septono kala memanggil dua polisi, Brigadir I Ketut Surya Ningrat dan Brigadir Indra Jaya Kusuma, yang bertugas di jalur bypass Bandara Internasional Lombok (BIL), Juli 2016 silam.

“Siap! Mohon maaf Jenderal, perjalanan Bapak terganggu, saya sedang melayani masyarakat yang menyeberang,” jawab keduanya datar.

Bukannya marah, jenderal polisi yang menghabiskan nyaris separuh kariernya di lalu lintas itu justru mengapresiasi dua polisi yang menghentikan rombongannya. “Bagus, itu yang benar. Kalian bertugas melayani masyarakat bukan melayani atasan,” sahut Umar.
Saat mendengar ada anggotanya, Briptu Muzakkir mengalami kebutaan sang jenderal langsung mendatangi ke rumahnya, mencium tangannya lalu memberi bantuan. Perbuatan serupa sering ia lakukan di tempat umum. Kala bertemu seorang ibu tua di pasar, Kapolda yang tengah melintas mendekati dan mencium tangan perempuan tua itu.
Saya tidak sedang mengkultuskan seseorang. Pun saya tidak ingin mendewa-dewakan manusia. Tulisan ini lebih karena perasaan takjub bahwa ada seorang jenderal polisi yang memiliki akhlak dan keteladanan yang bisa dibilang langka. Tulisan ini merupakan ekspresi kegembiraan dan kebahagiaan bahwa mencari polisi baik di negeri ini bukanlah mimpi.

Jujurkah Umar Septono dalam setiap tindakannya atau jangan-jangan hanya pencitraan? Hanya dia dan Tuhan yang tahu. Dan menghakimi hati seseorang bukanlah tindakan yang bisa dibenarkan. Biarlah waktu yang akan membuktikan semuanya, tindakannya murni karena nurani atau karena ada motif duniawi.

Jenderal Umar tentu berbeda dengan sosok warga kebanyakan. Ia seorang pemimpin. Kesalehan pribadinya akan mempengaruhi institusi  yang ia pimpin, persis yang terjadi pada Jenderal Hoegeng puluhan tahun silam. Bawahan akan mengikuti apa kata atasan. Teladan baik dari pemimpin akan diikuti orang yang dipimpinnya.

Jawaban Brigadir I Ketut Surya Ningrat dan Brigadir Indra Jaya Kusuma di atas menyiratkan hal itu. Ada kepercayaan dari bawahan bahwa hal baik yang mereka lakukan direstui atasan. Bahwa melayani masyarakat adalah kewajiban yang melekat di diri polisi tanpa harus berbenturan dengan kepentingan atasan.

Akankah gejala baik ini bakal mewabah ke semua polisi? Bisakah moto polisi “Ikhlas Melayani Tulus Melindungi” benar-benar terwujud? Waktu yang akan menjawabnya.

Polisi telanjur diidentikkan dengan “asal tilang”, “main 86”, merekayasa pasal, dan lain sebagainya. Keberadaan Umar Septono adalah antitesis dari stigma negatif itu. Ia menggenapi kisah heroik kepolisian yang selama ini disematkan kepada Jenderal Hoegeng, Kapolri di era Orde Baru, yang harus rela dicopot karena mempertahankan kejujuran dan citra Polri bersih.

Umar juga menjadi bantahan atas kalimat satir Gus Dur tentang tiga polisi jujur. Kita yakin masih ada—dan banyak—penegak hukum yang jujur di negeri ini. Masih banyak polisi berhati mulia yang layak dijadikan contoh kebaikan.

Mari ke Jawa Timur. Di sana ada Bripka Suwaji, anggota Satlantas Pasuruan yang dijuluki polisi berhati malaikat karena kerap membantu masyarakat menyeberang jalan. Bukan sekadar membantu menyeberang tetapi juga mengangkat barang bawaan masyarakat. Aksinya yang terekam kamera dan menjadi viral adalah ketika ia menyeberangkan seorang nenek sembari memanggul karung milik sang nenek.

Kita merindukan Umar bakal seperti Hoegeng. Yang berani berseberangan dengan atasan lalim, yang kukuh memperjuangkan aparat bersih, yang berani menindak siapapun yang bersalah meski orang besar.

Masyarakat merindukan jejak langkah pemimpin yang mampu mengarahkan bangsa keluar dari perilaku koruptif para pejabat autis, yang asyik berebut kue kekuasaan dan hanya memikirkan diri sendiri dan kelompoknya.

Saya selalu percaya kesalehan vertikal akan berbanding lurus dengan kesalehan horizontal. Seseorang yang saleh secara vertikal pasti akan alim secara horizontal. Jika ada orang yang terbukti lalim secara horizontal pastilah ia zalim secara vertikal kendati di permukaan tampak seperti orang suci.

Publik rindu tokoh-tokoh bangsa yang memberi keteladanan. Masyarakat kangen menikmati romantika pemimpin yang rela kelaparan asalkan rakyatnya berperut kenyang.

Setiap zaman butuh keteladanan. Umat butuh pemimpin yang menjadi patokan bertindak. Setiap pemimpin—entah di level dan institusi mana pun—wajib memberikan keteladanan.  Rangkaian gerbong kereta api akan berjalan baik dan benar tergantung lokomotifnya. Maka pemimpin harus menjadi lokomotif yang benar menentukan arah umat yang dipimpinnya.

Umar Septono adalah bukti tentang harapan masih adanya orang baik di negeri ini. Bahwa tidak semua pejabat culas dan licik, tak semua bejat dan rakus. Dan kita percaya orang-orang seperti Umar dan Hoegeng masih bertebaran di pelosok nusantara. Mereka butuh momentum dan panggung untuk tampil.

Kita berharap mereka tampil ke publik dan menggelorakan semangat tulus mengabdi untuk negeri agar bumi pertiwi tak lagi berurai air mata.











*Artikel dimuat Solopos, 15 April 2018







No comments:

Post a Comment

PETAHANA OH PETAHANA

Presiden Joko Widodo membombardir publik dengan sejumlah kebijakan populis di tahun politik. Setelah menaikkan anggaran perli...