Mata Tri Rismaharini berkaca-kaca.
Ia tak mampu lagi melanjutkan ucapannya. Hampir satu menit Wali Kota Surabaya
itu terdiam lalu terisak. Suasana studio Metro
TV hening. Presenter Najwa Shihab sabar menunggu. Tapi itu tak lama.
Beberapa saat kemudian
Nana—sapaan akrab Najwa Shihab--mencoba mengorek informasi dari sang tamu. Upaya
Nana berhasil. Berbagai fakta seputar
praktik prostitusi di Surabaya meluncur dari mulut wali kota yang kini
dijagokan sebagai salah satu calon Gubernur DKI menantang Basuki Tjahaja
Purnama (Ahok).
“Saya lalu kumpulkan
semua kepala dinas. Saya juga berpesan kepada keluarga saya ‘kalau saya mati
karena mengurus ini [penutupan Dolly] jangan ada keluarga yang menuntut’,” ujar
Risma, panggilan Tri Rismaharini, dengan suara bergetar.
Adegan mengharukan tersebut
tersaji dalam acara Mata Najwa di Metro TV, Februari 2014 silam. Kala itu Najwa
Shihab mengorek informasi seputar penutupan Dolly, tempat lokalisasi pekerja seks komersial di Pasar
Kembang, Surabaya, Jawa Timur yang disebut-sebut terbesar di Asia Tenggara
mengalahkan Patpong (Thailand) dan Genylang (Singapura).
Dari sekian fakta dari Risma,
yang mencengangkan adalah fenomena anak-anak SD yang “jajan” di Dolly. Menurut
Risma, dengan mengumpulkan uang jajan Rp1.000-Rp2.000 para bocah tersebut bisa
mengencani pekerja seks komersial (PSK) yang seumuran dengan ibu atau nenek
mereka. Saat menyaksikan adegan di Mata
Najwa itu, mata saya basah
oleh air mata. Saya larut dalam kegetiran hati Risma.
Kamis (12/5) lalu Risma
kembali terisak. Kali ini bukan di studio Metro
TV melainkan di aula Mapolrestabes Surabaya. Di hadapan Risma berdiri
berjajar delapan pelajar SMP dan SD. Seolah menjadi bukti ucapannya dua tahun
sebelumnya, di hadapan Risma hari itu adalah bocah-bocah yang sudah merasakan seks di usia yang sangat dini. Delapan
bocah itu ditangkap polisi karena mencabuli seorang siswi SMP, Zr, 13. Salah
satu anak berusia 14 berinisial AS bahkan sudah mempraktikkan perilaku cabul
sejak usia lima tahun. Memilukan!
Dari penelusuran polisi
kemudian kita tahu, Zr sudah sejak usia empat tahun menjadi korban pencabulan AS,
tetangga sekaligus teman mainnya. Total sudah sembilan tahun perbuatan itu
dilakukan! Yang memilukan
sejak April lalu AS mengajak tujuh rekannya—empat siswa SMP dan tiga pelajar
SD—mencabuli korban. Kepada Risma, para pelaku pencabulan mengakui setiap hari
melihat tayangan video porno di warung internet.
Kasus Surabaya
menggenapi kejahatan seksual yang melibatkan anak-anak di berbagai tempat di
Tanah Air, beberapa pekan terakhir. Di Bengkulu, seorang bocah berinisial Y,
14, dibunuh setelah sebelumnya diperkosa 14 remaja; di Lampung bocah berusia 10
tahun ditemukan tewas dan diduga korban perkosaan; di Manado seorang remaja
perempuan F, 19, diperkosa belasan pemuda; kemudian di Aceh seorang siswi SMP diperkosa empat pemuda
di dalam mobil. Yang terbaru adalah kasus di Jatinom, Klaten. Pada 11 Mei lalu
seorang siswi kelas VI SD dicabuli beberapa remaja saat berkunjung ke rumah
neneknya (Solopos, 13/5).
Saya merasakan tangis Risma tulus. Ketulusan seorang ibu, bukan isak tangis
semu politisi kita yang kerap muncul di layar televisi. Dan
seperti juga Risma, sulit rasanya bagi saya mempercayai kejadian yang
melibatkan AS dan Zr. Bagaimana
mungkin di usia yang sangat belia kedua bocah itu sudah berhubungan intim
layaknya orang dewasa. Dan berlangsung sembilan tahun.
Di mana orang tua mereka?
Usia AS dan Zr adalah usia anak-anak bermain. Sama dengan dua anak saya
yang masih berkutat dengan boneka, pasaran,
sepedaan dan lain-lain. Belum saatnya
mereka berpikir tentang hubungan seks. Lonceng bahaya harus ditabuh
bersama-sama. Saatnya negara bertindak. Bahaya kejahatan seksual sudah sangat
mengancam anak-anak kita. Seolah sudah tidak ada tempat aman bagi mereka di
negeri ini. Apalagi pelaku dan korban kerap merupakan orang dekat. Dalam
beberapa kasus yang terkuak, orang-orang yang harusnya menjadi pelindung anak
justru bertindak sebagai predator. Bisa kakak, ayah, paman atau tetangga.
Di Bogor, pelaku perkosaan
dan pembunuhan bocah perempuan berusia 2,5 tahun adalah Budiansyah, 26,
tetangga dekatnya. Para Maret lalu di Sinjai, Sulawesi Selatan seorang bapak ditangkap
karena menghamili anak kandungnya. Bahaya bisa menyergap anak-anak kapan saja dan
oleh siapa saja.
Kita harus introspeksi.
Saatnya kita lebih peduli terhadap anak-anak kita. Usia di bawah 10 tahun adalah masa krisis yang membentuk masa setelahnya. Singgih D. Gunarsa dalam bukunya Psikologi Untuk Keluarga (1995) menyebut
masa ini sebagai periode trotsalter,
masa di mana anak sedang mengembangkan diri untuk melepaskan diri dari pengaruh
orang tua. Tapi, melepaskan mereka sama sekali dari pengawasan orang tua jelas
menjadi bencana. Budayawan Emha Ainun Najib (Cak Nun) dalam
beberapa ceramahnya mengingatkan
bahwa orang tua adalah teman dan pendamping anak untuk menemukan jati diri
mereka. Dalam kasus AS dan Zr, saya menduga pengawasan orang tua
dan lingkungan mereka sangat longgar sehingga bisa berhubungan tidak senonoh selama sembilan tahun tanpa terungkap.
Singgih D. Gunarsa membagi
lingkungan menjadi dua, yakni lingkungan alam dan lingkungan sosial. Lingkungan
alam meliputi hal yang bersifat materi seperti rumah, isi rumah; dan non materi
yakni keadaan alam, iklim, suasana rumah yang ribut dan lain sebagainya.
Lingkungan sosial adalah pengaruh dari orang di sekitar anak, misalnya
lingkungan di dalam keluarga, tetangga, sekolah dan teman-teman sepermainan.
Kondisi lingkungan alam dan lingkungan sosial sangat menentukan terbentuknya pribadi
anak (hal. 66).
Karenanya, peran
pendampingan orang tua mutlak diperlukan. Di mana anak-anak bermain, dengan
siapa mereka bergaul, tayangan apa saja yang mereka konsumsi setiap hari,
hendaknya benar-benar diperhatikan orang tua. Beberapa hari lalu Solopos memberitakan seorang siswi kelas I SMP berusia 13 tahun di
Solo yang minggat dengan kekasihnya karena dilarang pacaran oleh orang
tuanya. Kasus ini adalah lonceng bahaya.
Anak-anak kita terlalu cepat dewasa secara fisik tanpa dibarengi kedewasaan
berpikir.
Kita harus menyambut
seruan Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto yang
mendorong perbaikan sistem perlindungan anak dimulai dari elemen terkecil,
yaitu keluarga. Para orangtua tak boleh lengah. Mereka tidak boleh lagi hanya
mencukupi kebutuhan materi anak. Anak jauh lebih butuh perhatian dan kasih
sayang serta arahan untuk menemukan jati diri mereka.
Cak Nun berpendapat ada
empat bekal bagi anak yang harus beres di dalam keluarga. Masing-masing akhlak, disiplin (Cak Nun menyebutnya
sebagai militer), akuntansi/muhasabah (pandai menghitung segala hal yang
berkaitan kehidupan), serta perencanaan (planning). Menurut Cak Nun, dari empat
hal itu akhlak menempati urutan pertama dan utama. Akhlak harus baik, titik.
Maka revolusi moral
menjadi harga mati. Moral menjadi ukuran pertama dan utama bagi pendidikan
anak. Sebelum memberi bekal keilmuan dan pengetahuan lain, yang utama dibangun
untuk mereka adalah fondasi moral. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), moral dimaknai
sebagai ajaran tentang baik buruk yang
diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya. Moral
berarti akhlak, budi pekerti, susila.
Terlalu Permisif
Kadang-kadang orang tua
terlalu permisif. Apa saja yang diminta anak dikabulkan tanpa menyaring
terlebih dulu dampaknya. Maka anak-anak SD bermain handphone (HP) canggih menjadi pemandangan yang biasa. Dengan teknologi
internet di HP bocah-bocah tersebut dengan mudah mendownload gambar/video
porno. Dan repotnya, di saat yang sama pengawasan terhadap mereka begitu
longgar. Saya beberapa kali memergoki anak-anak usia SD yang “mojok” di tempat
sepi dengan HP canggih. Pikiran negatif saya selalu mengarah pada “ada sesuatu”
di alat canggih itu sehingga bocah-bocah itu sampai bersembunyi untuk membuka
HP.
Agar kasus AS tidak
terulang, para ketua RT, ketua RW hingga kepala desa harus waspada terhadap
kondisi lingkungan masing-masing. Jangan hanya berkutat pada urusan
administratif warga tetapi harus menjadi pelopor perlindungan terhadap anak. Mengutip
slogan presenter berita salah satu stasiun televisi swasta yang popular
beberapa tahun silam, “kejahatan bukan hanya karena ada niat pelakunya tapi
juga karena ada kesempatan.” Kepedulian sosial akan menciptakan lingkungan sosial
yang sehat sehingga niat jahat
bisa ditepis
karena kesempatan sudah
tertutup.
Note: Artikel ini
dimuat Solopos, 15 Mei 2016
No comments:
Post a Comment