Lalu lintas di Jl. Sumpah Pemuda, tepatnya di perempatan Genengan,
Mojosongo, Jebres, Solo, Selasa (5/3) sore, cukup ramai. Belasan mobil, truk dan sepeda motor berjalan
beriringan dari arah timur.
Beberapa
detik setelah melewati perempatan tiba-tiba sebuah truk berwarna hijau terdorong
ke belakang dengan keras. Rupanya ia diseruduk truk dari arah berlawanan yang mengalami
rem blong. Hantaman kendaraan berat itu mengenai beberapa kendaraan di
belakangnya, termasuk tiga sepeda motor. Tragis. Empat orang meninggal, beberapa
orang terluka.
Potongan
video tragis itu muncul hanya beberapa jam setelah kejadian sekitar pukul 14.30
WIB. Sumber video diketahui dari closed
circuit television (CCTV) Dinas
Perhubungan (Dishub) Kota Solo.
Tak
lama setelah video itu muncul, segera berseliweran di internet gambar dan video
amatir dari lokasi kejadian. Para korban kecelakaan terlihat dengan jelas tanpa
sensor. Sadis. Penuh darah. Penuh luka.
Itulah
hebatnya internet zaman now. Semua kejadian
bisa diketahui dalam hitungan menit, tanpa kendala jarak dan waktu. Cukup
dengan kamera handphone dan paket
data berharga belasan ribu rupiah, informasi tersaji tanpa batas.
Foto
dan video itu membuat rasa penasaran sebagian besar masyarakat “terobati”.
Banyak yang berkata “oh begitu ta
kejadiannya.” Segera setelah rasa penasaran hilang, masyarakat akan kembali ke
aktivitas masing-masing. Selesai.
Tapi
bagaimana dengan perasaan keluarga korban? Benar kehilangan orang terkasih
adalah suratan takdir, tapi menyaksikan anggota keluarga mereka yang dalam
kondisi mengenaskan viral di internet pasti tak pernah mereka harapkan seumur
hidup.
Ketika
rasa penasaran publik terobati, di saat itu perasaan keluarga korban justru tersakiti.
Bagi sebagian orang mengirim video/foto korban kecelakaan yang dalam kondisi
remuk seperti dianggap prestasi. Padahal di saat yang sama menghancurkan
perasaan keluarga korban. Bisa jadi, kenangan mengerikan itu tidak akan
benar-benar bisa hilang dari ingatan mereka hingga akhir hayat.
Kami
para jurnalis diikat oleh kode etik saat bekerja. Sesuai Pasal 4 Kode Etik
Jurnalistik (KEJ) wartawan dilarang memberitakan informasi sadis. Maka jangan
harap bakal muncul foto korban kecelakaan yang dalam kondisi berdarah-darah,
korban tenggelam dalam kondisi telanjang atau korban asusila di media arus
utama (mainstream).
Dapur
redaksi Solopos mengamanatkan semua
korban meninggal hanya boleh tayang dalam kondisi tertutup rapat. Tidak boleh
ada foto korban yang masih berlumuran darah. Pesan moral yang ingin disampaikan
adalah media/wartawan menghormati rasa traumatik masyarakat—dalam hal ini
keluarga korban. Kehilangan orang tercinta sudah beban berat, jangan ditambah
dengan trauma akibat video/foto sadis.
Tapi
di era terkini, semua batasan itu dibabat habis oleh kecanggihan teknologi.
Semua ada di dunia maya. Semua bisa melihat dengan gamblang apapun yang
terjadi. Tanpa batas, tanpa sekat.
Nyaris
sama kejadiannya dengan kasus diretasnya video running text milik Hotel Megaland Solo, pekan lalu. Media arus
utama memberitakan kasus peretasan tanpa menyampaikan bentuk detail kalimat
cabul yang muncul di video. Tapi mereka yang penasaran akan dengan mudah tahu
apa kalimat cabul itu. Cukup berselancar di internet dalam hitungan detik akan
terpampang kalimat cabul berbunyi “menerima bla bla bla bla…”.
Klimaksnya
rasa penasaran publik dan masalah etik adalah perang yang terjadi saat ini.
Media arus utama masih setia dengan kode etik, tapi media sosial (medsos) nyaris
tanpa aturan.
Jika
media arus utama sensornya adalah KEJ, bagaimana dengan media sosial? Sensor
itu akhirnya kembali ke kebijaksanaan masing-masing pribadi. Rasanya kita perlu
membuat kode etik untuk diri kita sendiri.
Saya
bergabung dengan grup whatsapp (WA) Potensi
Soloraya yang berisi para sukarelawan kemanusiaan. Mereka ini yang kerap menjadi
tenaga bantuan jika terjadi bencana dan musibah, bukan hanya di Soloraya tapi
juga di wilayah lain.
Yang
menarik di sana, kendati terdiri atas beragam profesi dan daya intelektualitas,
mereka punya kode etik yang dijunjung tinggi, yakni larangan menampilkan
foto/video sadis. Pernah suatu ketika ada anggota baru yang mengirim foto
korban tenggelam secara utuh. Sontak para anggota lama segera mengkritik dan
meminta gambar itu dihapus. Menghormati perasaan keluarga korban adalah alasan
utama dilarangnya terpasang foto utuh korban tenggelam.
Jujur
saya kaget saat itu. Nilai-nilai yang menjiwai dalam kerja kami selama ini
ternyata juga diterapkan oleh kawan-kawan di grup WA. Sebuah contoh yang layak
dijadikan panutan oleh grup-grup pesan instan dan medsos yang lain.
Bukan
hanya tentang sadistis, persoalan cabul juga menjadi perhatian. Sesuai kode
etik, wartawan tidak boleh mempublikasikan informasi detail tentang kasus
kejahatan seksual. Foto/identitas/alamat korban asusila harus dilindungi.
Khusus yang di bawah umur, baik korban maupun pelaku fotonya tidak boleh tampil
di publik.
Tapi
di medsos, gambar begitu gampang terpublikasi. Ketika beberapa waktu lalu media
arus utama menyensor dengan cermat gadis SMP di Sragen yang diarak dalam
kondisi bugil karena mencuri, di medsos dan internet wajah serta identitasnya terpampang
dengan jelas. Benar-benar dilematis.
Inilah
persoalan kita saat ini. Teknologi ibarat dua sisi mata uang, bisa membuat kita
maju atau terpuruk. Sekali lagi sensornya di diri kita masing-masing. Pernah
salah satu grup WA saya yang merupakan komunitas olahraga disusupi video cabul
dari anggota baru. Hanya dalam hitungan detik kecaman bermunculan. Dan tidak
sampai setengah jam, anggota baru tersebut left.
Rasanya
perlu kampanye tanpa kenal lelah untuk menghentikan pengiriman gambar/video
sadis dan mesum. Sebelum mengirim informasi pastikan dulu gambar/video itu
sudah disensor atau dikaburkan sehingga orang yang melihat tidak jijik. Jika
kemudian gambar/video itu sampai kepada keluarga korban pun mereka tidak merasa
trauma.
Generasi
kita perlu dijaga agar tumbuh alami dalam bingkai akhlak/moral yang baik. Tak
bijak mengandalkan regulasi di Undang-Undang Informasti dan Transaksi
Elektronik (ITE) untuk mendisiplinkan kebiasaan tidak baik ini karena pasti tak
akan terjangkau. Yang diperlukan adalah kesadaran etik agar bijak bermedia
sosial.
Masyarakat
perlu disadarkan tentang pentingnya etika bermedia sosial. Harus terus
ditumbuhkan kesadaran “jika tak baik bagimu pasti tidak bagus juga untuk orang
lain”, “jika kamu merasakan sakit pasti orang lain juga sama”, “jika kamu saja
tidak mau apalagi orang lain”. Rasa toleransi dan tepa selira, itu yang wajib dipupuk sepanjang masa.
*Artikel
dimuat Solopos, 11 Maret 2018
No comments:
Post a Comment