Sunday, December 16, 2018

Surga Neraka Selentik Ibu Jari



Lalu lintas di Jl. Sumpah Pemuda, tepatnya di perempatan Genengan, Mojosongo, Jebres, Solo, Selasa (5/3) sore, cukup ramai.  Belasan mobil, truk dan sepeda motor berjalan beriringan dari arah timur.

Beberapa detik setelah melewati perempatan tiba-tiba sebuah truk berwarna hijau terdorong ke belakang dengan keras. Rupanya ia diseruduk truk dari arah berlawanan yang mengalami rem blong. Hantaman kendaraan berat itu mengenai beberapa kendaraan di belakangnya, termasuk tiga sepeda motor. Tragis. Empat orang meninggal, beberapa orang terluka.

Potongan video tragis itu muncul hanya beberapa jam setelah kejadian sekitar pukul 14.30 WIB. Sumber video diketahui dari closed circuit television (CCTV) Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Solo.

Tak lama setelah video itu muncul, segera berseliweran di internet gambar dan video amatir dari lokasi kejadian. Para korban kecelakaan terlihat dengan jelas tanpa sensor. Sadis. Penuh darah. Penuh luka.

Itulah hebatnya internet zaman now. Semua kejadian bisa diketahui dalam hitungan menit, tanpa kendala jarak dan waktu. Cukup dengan kamera handphone dan paket data berharga belasan ribu rupiah, informasi tersaji tanpa batas.

Foto dan video itu membuat rasa penasaran sebagian besar masyarakat “terobati”. Banyak yang berkata “oh begitu ta kejadiannya.” Segera setelah rasa penasaran hilang, masyarakat akan kembali ke aktivitas masing-masing. Selesai.    

Tapi bagaimana dengan perasaan keluarga korban? Benar kehilangan orang terkasih adalah suratan takdir, tapi menyaksikan anggota keluarga mereka yang dalam kondisi mengenaskan viral di internet pasti tak pernah mereka harapkan seumur hidup.

Ketika rasa penasaran publik terobati, di saat itu perasaan keluarga korban justru tersakiti. Bagi sebagian orang mengirim video/foto korban kecelakaan yang dalam kondisi remuk seperti dianggap prestasi. Padahal di saat yang sama menghancurkan perasaan keluarga korban. Bisa jadi, kenangan mengerikan itu tidak akan benar-benar bisa hilang dari ingatan mereka hingga akhir hayat. 

Kami para jurnalis diikat oleh kode etik saat bekerja. Sesuai Pasal 4 Kode Etik Jurnalistik (KEJ) wartawan dilarang memberitakan informasi sadis. Maka jangan harap bakal muncul foto korban kecelakaan yang dalam kondisi berdarah-darah, korban tenggelam dalam kondisi telanjang atau korban asusila di media arus utama (mainstream).

Dapur redaksi Solopos mengamanatkan semua korban meninggal hanya boleh tayang dalam kondisi tertutup rapat. Tidak boleh ada foto korban yang masih berlumuran darah. Pesan moral yang ingin disampaikan adalah media/wartawan menghormati rasa traumatik masyarakat—dalam hal ini keluarga korban. Kehilangan orang tercinta sudah beban berat, jangan ditambah dengan trauma akibat video/foto sadis.  

Tapi di era terkini, semua batasan itu dibabat habis oleh kecanggihan teknologi. Semua ada di dunia maya. Semua bisa melihat dengan gamblang apapun yang terjadi. Tanpa batas, tanpa sekat.  

Nyaris sama kejadiannya dengan kasus diretasnya video running text milik Hotel Megaland Solo, pekan lalu. Media arus utama memberitakan kasus peretasan tanpa menyampaikan bentuk detail kalimat cabul yang muncul di video. Tapi mereka yang penasaran akan dengan mudah tahu apa kalimat cabul itu. Cukup berselancar di internet dalam hitungan detik akan terpampang kalimat cabul berbunyi “menerima bla bla bla bla…”.

Klimaksnya rasa penasaran publik dan masalah etik adalah perang yang terjadi saat ini. Media arus utama masih setia dengan kode etik, tapi media sosial (medsos) nyaris tanpa aturan.

Jika media arus utama sensornya adalah KEJ, bagaimana dengan media sosial? Sensor itu akhirnya kembali ke kebijaksanaan masing-masing pribadi. Rasanya kita perlu membuat kode etik untuk diri kita sendiri.

Saya bergabung dengan grup whatsapp (WA) Potensi Soloraya yang berisi para sukarelawan kemanusiaan. Mereka ini yang kerap menjadi tenaga bantuan jika terjadi bencana dan musibah, bukan hanya di Soloraya tapi juga di wilayah lain.

Yang menarik di sana, kendati terdiri atas beragam profesi dan daya intelektualitas, mereka punya kode etik yang dijunjung tinggi, yakni larangan menampilkan foto/video sadis. Pernah suatu ketika ada anggota baru yang mengirim foto korban tenggelam secara utuh. Sontak para anggota lama segera mengkritik dan meminta gambar itu dihapus. Menghormati perasaan keluarga korban adalah alasan utama dilarangnya terpasang foto utuh korban tenggelam.

Jujur saya kaget saat itu. Nilai-nilai yang menjiwai dalam kerja kami selama ini ternyata juga diterapkan oleh kawan-kawan di grup WA. Sebuah contoh yang layak dijadikan panutan oleh grup-grup pesan instan dan medsos yang lain.   

Bukan hanya tentang sadistis, persoalan cabul juga menjadi perhatian. Sesuai kode etik, wartawan tidak boleh mempublikasikan informasi detail tentang kasus kejahatan seksual. Foto/identitas/alamat korban asusila harus dilindungi. Khusus yang di bawah umur, baik korban maupun pelaku fotonya tidak boleh tampil di publik.

Tapi di medsos, gambar begitu gampang terpublikasi. Ketika beberapa waktu lalu media arus utama menyensor dengan cermat gadis SMP di Sragen yang diarak dalam kondisi bugil karena mencuri, di medsos dan internet wajah serta identitasnya terpampang dengan jelas. Benar-benar dilematis.

Inilah persoalan kita saat ini. Teknologi ibarat dua sisi mata uang, bisa membuat kita maju atau terpuruk. Sekali lagi sensornya di diri kita masing-masing. Pernah salah satu grup WA saya yang merupakan komunitas olahraga disusupi video cabul dari anggota baru. Hanya dalam hitungan detik kecaman bermunculan. Dan tidak sampai setengah jam, anggota baru tersebut left.

Rasanya perlu kampanye tanpa kenal lelah untuk menghentikan pengiriman gambar/video sadis dan mesum. Sebelum mengirim informasi pastikan dulu gambar/video itu sudah disensor atau dikaburkan sehingga orang yang melihat tidak jijik. Jika kemudian gambar/video itu sampai kepada keluarga korban pun mereka tidak merasa trauma.

Generasi kita perlu dijaga agar tumbuh alami dalam bingkai akhlak/moral yang baik. Tak bijak mengandalkan regulasi di Undang-Undang Informasti dan Transaksi Elektronik (ITE) untuk mendisiplinkan kebiasaan tidak baik ini karena pasti tak akan terjangkau. Yang diperlukan adalah kesadaran etik agar bijak bermedia sosial.

Masyarakat perlu disadarkan tentang pentingnya etika bermedia sosial. Harus terus ditumbuhkan kesadaran “jika tak baik bagimu pasti tidak bagus juga untuk orang lain”, “jika kamu merasakan sakit pasti orang lain juga sama”, “jika kamu saja tidak mau apalagi orang lain”. Rasa toleransi dan tepa selira, itu yang wajib dipupuk sepanjang masa.



*Artikel dimuat Solopos, 11 Maret 2018


No comments:

Post a Comment

PETAHANA OH PETAHANA

Presiden Joko Widodo membombardir publik dengan sejumlah kebijakan populis di tahun politik. Setelah menaikkan anggaran perli...