Tuesday, December 25, 2018

Mencari Kentut



Suatu hari di awal tahun 1961 Presiden Sukarno bertitah. Ketua Perserikatan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI), R. Maladi yang ada di depannya memperhatikan dengan seksama. “Medali emas harga mati!” kata Bung Karno, merujuk pada event Asian Games yang akan digelar di Jakarta pada 1962.

Pesan Panglima Besar Revolusi itu bukan tanpa sebab. Untuk kali pertama Indonesia akan menjadi tuan rumah event olahraga terbesar di Asia. Bukan hanya olahraga, Bung Karno juga punya misi politik internasional dalam Asian Games. Sang Proklamator ingin menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia bukan negara ecek-ecek meski baru berumur 17 tahun.

Tragisnya, R. Maladi gagal mengemban dhawuh Putra Sang Fajar. Alih-alih meraih emas di Asian Games 1962, Tim Nasional Indonesia justru menorehkan aib terbesar dalam sejarah sepak bola Tanah Air. Sebanyak 18 dari 23 pemain Timnas terlibat pengaturan skor dalam laga uji coba yang merupakan persiapan menuju Asian Games.

Para bandar judi berhasil merayu Ramang dan kawan-kawan agar Timnas mengalah kala melawan Malmoe, Yugoslavia Selection, Thailand, dan Petrorul Tjeko Combined. Sebagai imbalannya, para penggawa Garuda memperoleh setumpuk rupiah.

Sukarno marah besar. Pelatih Toni Pogacnik yang sebelumnya menghadiahkan prestasi menembus semifinal Asian Games 1954, medali perunggu Asian Games Tokyo 1958, dan lolos ke Olimpiade Melbourne hanya bisa sesenggukan. Tak ada pilihan lain, pria asal Yugoslavia itu memecat 18 pemain andalannya. Ia berburu pemain baru. Tapi, Indonesia gagal total di Asian Games 1962 yang dilangsungkan di rumah sendiri, Stadion Utama Gelora Bung Karno.

Noda di tahun 1961 tersebut sebenarnya merupakan puncak gunung es mafia bola masa itu. Sejak Indonesia digelari Macan Asia oleh Koran Star Weekly (1954) berbagai kasus suap silih berganti menerpa para pemain nasional.

Sebelum kasus Asian Games, Ramang--bintang PSM Makassar dan Timnas Indonesia—terbukti mengatur skor kala PSM menghadapi Persebaya pada Kejurnas PSSI 1961 yang berakhir dengan skor 3-3. Tragedi tersebut dikenal sebagai Peristiwa Surabaya.  PSM langsung memecat Ramang.

Beberapa bulan setelah Peristiwa Surabaya, giliran tiga pemain PSIM Jogjakarta terbukti menerima suap ketika PSIM kalah 1-7 dalam laga persahabatan melawan Thailand di Jogjakarta.

Setelah itu suap dalam sepak bola tak pernah berhenti. Galatama yang dimulai pada 1979 dan diharapkan menjadi cikal bakal liga profesional di Indonesia justru menjadi lahan basah bagi para penjudi.

Pada 1982, Kaslan Rosidi, bos Klub Cahaya Kita menghukum 10 pemainnya yang terlibat kasus suap. Benny Muyono, bos Klub Warna Agung bahkan membubarkan klubnya pada tahun ketiga kompetisi setelah setiap musim ada saja pemainnya yang menerima suap dari bandar judi.

Awal Desember lalu legenda Timnas Indonesia Rochy Putiray melontarkan tantangan terbuka ke publik. “Ayo siapa yang berani taruhan dengan saya, bahwa tahun ini  Persija Jakarta yang juara,” tantang Rochy dalam salah satu wawancara  yang beredar di Youtube.  

Tantangan terbuka itu membuat Rochy panen kritikan sekaligus dukungan di dunia maya. Yang mengkritik kemungkinan besar pendukung Persija Jakarta yang rindu tim mereka meraih juara setelah puasa gelar 17 tahun. Yang mendukung Rochy bisa jadi suporter PSM Makassar atau tim lain rival Persija atau penggila bola nonsimpatisan klub tapi peduli sportivitas.   

Tebakan Rochy benar. Persija juara Liga 1 2018. Sayangnya kemenangan Persija diwarnai isu tidak sedap. Dua gol Marko Simic ke gawang Mitra Kukar kontroversial. Gol pertama lahir dari penalti setelah pemain Mitra dianggap menjatuhkan striker andalan Persija, Marko Simic.

Tapi dalam tayangan ulang di televisi terlihat penalti itu tidak layak diberikan wasit. Alih-alih menjatuhkan Simic, pemain belakang Mitra justru yang terjatuh lantaran diapit dua pemain Persija—salah satunya Simic.

Gol kedua juga tidak kalah mengherankan. Bahkan pelatih Rahmad Darmawan yang terkenal kalem dan tak suka memprotes wasit, pada hari itu tiba-tiba berubah 180 derajat. Ia mendatangi wasit dan meluapkan kemarahannya.

Dan lagi-lagi dalam tayangan ulang terlihat gol itu seharusnya tidak sah. Sebab sebelum Simic menyundul bola ke gawang, rekannya Ramdani Lestaluhu lebih dulu menghalangi kiper Mitra Kukar Yon Jaehon yang hendak melompat ke udara. “Itu jelas pelanggaran,” kata anggota Komite Wasit, Purwanto. “Wasit buta,” kecam Rochy Putiray.

Sangat disayangkan Liga 1 2018 antiklimaks, persis yang terjadi pada musim sebelumnya. Tahun lalu Bhayangkara FC juara Liga 1 karena mendapat tambahan tiga poin hasil sidang Komisi Disiplin. Tambahan poin diperoleh Bhayangkara sebab pada pertandingan sebelumnya melawan Mitra Kukar, Mitra memainkan Mohammed Sissoko, yang sedang dijatuhi sanksi PSSI. Gara-gara tambahan tiga poin untuk Bhayangkara, Bali United yang sebelumnya memimpin klasemen gagal juara.

Sebagaimana PSM Makassar, Bali United pun panen simpati. Dua klub itu disebut sebagai juara tanpa piala. Sebuah fenomena yang sangat tidak sehat untuk sebuah olahraga yang mengedepankan azas fairplay.   

Menariknya, ada satu nama di balik juaranya Bhayangkara FC (2017) dan Persija (2018), Gede Widiade. Saat Bhayangkara juara Gede Widiade adalah pemilik saham tim milik Polri tersebut. Ketika Persija juara tahun ini, Gede menjabat direktur utama di perusahaan yang menaungi tim Ibu Kota tersebut. Siapa pemilik saham terbesar Persija? Joko Driyono, Wakil Ketua PSSI. Kebetulan bukan?

Sejatinya saya—dan pasti jutaan umat sepak bola lainnya—ingin Persija juara tanpa cacat. Juara yang lahir benar-benar karena permainan jujur dan kerja keras di lapangan. Dengan meminggirkan faktor di luar teknik, dalam kaca mata saya Persija layak juara.

Di tangan Stefano Teco Cugurra tahun ini Persija sangat komplet. Mereka kokoh dalam pertahanan dan menyeramkan kala menyerang. Organisasi permainan Macan Kemayoran terjalin rapi. Kualitas pemain inti dan pemain pelapis tidak berbeda jauh. Teco mampu meramu permainan anak asuhnya secara apik sejak dua tahun lalu. Hasilnya tiga piala diraih dalam satu tahun yakni juara turnamen di Malaysia, Piala Presiden 2018 dan Liga 1 2018. Artinya tanpa desas desus mafia bola pun Persija layak juara.

Sangat disayangkan PSSI lemot menangkap keresahan para penggila bola Tanah Air tentang mafia bola sepekan sebelum Liga 1 berakhir. Seharusnya sebagai induk organisasi sepak bola di Indonesia PSSI bertindak cepat menangkis isu mafia bola dengan melakukan berbagai tahapan penting.

Logikanya, menempatkan wasit-wasit terbaik di pertandingan menentukan pada pekan terakhir Liga 1 mutlak adanya. Bukan saja pada laga antara Persija dan PSM yang berebut juara, tapi juga pada pertandingan tim yang berada di zona degradasi. Sebab di zona ini tim-tim berebut lepas dari terlempar ke Liga 2.

Untuk mendukung ini PSSI mempunyai lima wasit yang berlisensi FIFA. Mereka adalah Thoriq Alkatiri, Oky Dwi Putra, Yudi Nurcahya, Dwi Purba Adi Wicaksana, dan Musthopa Umarella. Bahkan wasit Thoriq belum lama ini masuk ke jajaran elit wasit federasi sepak bola Asia, AFC. Thoriq sudah bertugas di pertandingan Piala Asia dan Liga Champions Asia.

Anehnya, PSSI justru menempatkan pengadil yang selama ini kerap diprotes karena diragukan integritasnya. Wasit Prasetyo Hadi yang memimpin laga Persija versus Mitra Kukar, pada Oktober lalu dilaporkan ke operator liga oleh Sriwijaya FC lantaran banyak membuat keputusan salah dalam laga PSIS versus Sriwijaya.

Dua kali tayangan Mata Najwa PSSI Bisa Apa di Trans7 membuka kengerian kita tentang betapa masifnya mafia bola bekerja. Bukti dan saksi bermunculan. Kebusukan dimulai dari internal pengurus PSSI. Para Exco tidak steril dari mafia, entah sebagai lembaga atau pribadi. Fakta demi fakta itu bikin kita sesak napas.

Mengusut mafia bola sesulit mencari kentut. Yang dicari ada tapi tidak kelihatan. PSSI pernah mencoba mengusut para mafia bola pada Maret 1984 dengan membentuk Tim Antisuap. Namun hasilnya nihil. Para bandar tetap berjaya, banyak klub Galatama yang jatuh miskin dan bubar di tengah jalan. Sulitnya membasmi bandar judi dikarenakan keterlibatan orang dalam PSSI dan klub. Pelakunya mulai pemilik klub, manajer, pelatih, pemain hingga wasit.

PSSI pekan lalu menggandeng Polri untuk memerangi mafia sepak bola. Kapolri Jenderal Pol. Tito Karnavian membentuk Satuan Tugas Anti Pengaturan Skor Sepak Bola. Kolaborasi PSSI-Polri penting untuk memutus mata rantai mafia bola. Spanyol dan Italia berhasil melakukan itu, kenapa kita tidak?

Para pemain, pelatih, manajer, pemilik klub harus membantu Polri dengan memberikan data-data yang mereka punya. Kolaborasi PSSI-Polri ini momentum langka. Sikat semua yang terlibat. Jika tidak, sepakbola Indonesia tidak akan pernah ke mana-mana.




Note: artikel dimuat Solopos, Senin (24/12).




No comments:

Post a Comment

PETAHANA OH PETAHANA

Presiden Joko Widodo membombardir publik dengan sejumlah kebijakan populis di tahun politik. Setelah menaikkan anggaran perli...