Suatu hari di awal tahun 1961 Presiden Sukarno bertitah.
Ketua Perserikatan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI), R. Maladi yang ada di
depannya memperhatikan dengan seksama. “Medali emas harga mati!” kata Bung
Karno, merujuk pada event Asian Games yang akan digelar di Jakarta pada 1962.
Pesan Panglima Besar Revolusi itu bukan tanpa sebab. Untuk
kali pertama Indonesia akan menjadi tuan rumah event olahraga terbesar di Asia.
Bukan hanya olahraga, Bung Karno juga punya misi politik internasional dalam
Asian Games. Sang Proklamator ingin menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia
bukan negara ecek-ecek meski baru berumur 17 tahun.
Tragisnya, R. Maladi gagal mengemban dhawuh Putra
Sang Fajar. Alih-alih meraih emas di Asian Games 1962, Tim Nasional Indonesia
justru menorehkan aib terbesar dalam sejarah sepak bola Tanah Air. Sebanyak 18
dari 23 pemain Timnas terlibat pengaturan skor dalam laga uji coba yang
merupakan persiapan menuju Asian Games.
Para bandar judi berhasil merayu Ramang
dan kawan-kawan agar Timnas mengalah kala melawan Malmoe, Yugoslavia Selection,
Thailand, dan Petrorul Tjeko Combined. Sebagai imbalannya, para penggawa Garuda
memperoleh setumpuk rupiah.
Sukarno marah besar. Pelatih Toni Pogacnik yang sebelumnya
menghadiahkan prestasi menembus semifinal Asian Games 1954, medali perunggu
Asian Games Tokyo 1958, dan lolos ke Olimpiade Melbourne hanya bisa sesenggukan.
Tak ada pilihan lain, pria asal Yugoslavia itu memecat 18 pemain andalannya. Ia
berburu pemain baru. Tapi, Indonesia gagal total di Asian Games 1962 yang
dilangsungkan di rumah sendiri, Stadion Utama Gelora Bung Karno.
Noda di tahun 1961 tersebut sebenarnya merupakan puncak
gunung es mafia bola masa itu. Sejak Indonesia digelari Macan Asia oleh Koran Star Weekly (1954)
berbagai kasus suap silih berganti menerpa para pemain nasional.
Sebelum kasus Asian Games, Ramang--bintang PSM Makassar dan
Timnas Indonesia—terbukti mengatur skor kala PSM menghadapi Persebaya pada Kejurnas PSSI 1961 yang berakhir dengan
skor 3-3. Tragedi tersebut dikenal sebagai Peristiwa Surabaya. PSM
langsung memecat Ramang.
Beberapa bulan setelah Peristiwa Surabaya, giliran tiga
pemain PSIM Jogjakarta terbukti menerima suap ketika PSIM kalah 1-7 dalam laga
persahabatan melawan Thailand di Jogjakarta.
Setelah itu suap dalam sepak bola tak pernah berhenti.
Galatama yang dimulai pada 1979 dan diharapkan menjadi cikal bakal liga
profesional di Indonesia justru menjadi lahan basah bagi para penjudi.
Pada 1982, Kaslan Rosidi, bos Klub Cahaya
Kita menghukum 10 pemainnya yang terlibat kasus suap. Benny Muyono, bos Klub
Warna Agung bahkan membubarkan klubnya pada tahun ketiga kompetisi setelah
setiap musim ada saja pemainnya yang menerima suap dari bandar judi.
Awal Desember lalu legenda Timnas Indonesia Rochy Putiray
melontarkan tantangan terbuka ke publik. “Ayo siapa yang berani taruhan dengan
saya, bahwa tahun ini Persija Jakarta yang juara,” tantang Rochy
dalam salah satu wawancara yang beredar di Youtube.
Tantangan terbuka itu membuat Rochy panen kritikan
sekaligus dukungan di dunia maya. Yang mengkritik kemungkinan besar pendukung
Persija Jakarta yang rindu tim mereka meraih juara setelah puasa gelar 17
tahun. Yang mendukung Rochy bisa jadi suporter PSM Makassar atau tim lain rival
Persija atau penggila bola nonsimpatisan klub tapi peduli sportivitas.
Tebakan Rochy benar. Persija juara Liga 1 2018. Sayangnya
kemenangan Persija diwarnai isu tidak sedap. Dua gol Marko Simic ke gawang
Mitra Kukar kontroversial. Gol pertama lahir dari penalti setelah pemain Mitra
dianggap menjatuhkan striker andalan Persija, Marko Simic.
Tapi dalam tayangan ulang di televisi terlihat penalti itu
tidak layak diberikan wasit. Alih-alih menjatuhkan Simic, pemain belakang Mitra
justru yang terjatuh lantaran diapit dua pemain Persija—salah satunya Simic.
Gol kedua juga tidak kalah mengherankan. Bahkan pelatih
Rahmad Darmawan yang terkenal kalem dan tak suka memprotes wasit, pada hari itu
tiba-tiba berubah 180 derajat. Ia mendatangi wasit dan meluapkan kemarahannya.
Dan lagi-lagi dalam tayangan ulang terlihat gol itu
seharusnya tidak sah. Sebab sebelum Simic menyundul bola ke gawang, rekannya
Ramdani Lestaluhu lebih dulu menghalangi kiper Mitra Kukar Yon Jaehon yang
hendak melompat ke udara. “Itu jelas pelanggaran,” kata anggota Komite Wasit,
Purwanto. “Wasit buta,” kecam Rochy Putiray.
Sangat disayangkan Liga 1 2018 antiklimaks, persis yang
terjadi pada musim sebelumnya. Tahun lalu Bhayangkara FC juara Liga 1 karena
mendapat tambahan tiga poin hasil sidang Komisi Disiplin. Tambahan poin
diperoleh Bhayangkara sebab pada pertandingan sebelumnya melawan Mitra Kukar,
Mitra memainkan Mohammed Sissoko, yang sedang dijatuhi sanksi PSSI. Gara-gara
tambahan tiga poin untuk Bhayangkara, Bali United yang sebelumnya memimpin
klasemen gagal juara.
Sebagaimana PSM Makassar, Bali United pun panen simpati.
Dua klub itu disebut sebagai juara tanpa piala. Sebuah fenomena yang sangat
tidak sehat untuk sebuah olahraga yang mengedepankan azas fairplay.
Menariknya, ada satu nama di balik juaranya Bhayangkara FC
(2017) dan Persija (2018), Gede Widiade. Saat Bhayangkara juara Gede Widiade
adalah pemilik saham tim milik Polri tersebut. Ketika Persija juara tahun ini,
Gede menjabat direktur utama di perusahaan yang menaungi tim Ibu Kota tersebut.
Siapa pemilik saham terbesar Persija? Joko Driyono, Wakil Ketua PSSI. Kebetulan
bukan?
Sejatinya saya—dan pasti jutaan umat sepak bola
lainnya—ingin Persija juara tanpa cacat. Juara yang lahir benar-benar karena
permainan jujur dan kerja keras di lapangan. Dengan meminggirkan faktor di luar
teknik, dalam kaca mata saya Persija layak juara.
Di tangan Stefano Teco Cugurra tahun ini Persija sangat
komplet. Mereka kokoh dalam pertahanan dan menyeramkan kala menyerang.
Organisasi permainan Macan Kemayoran terjalin rapi. Kualitas pemain inti dan
pemain pelapis tidak berbeda jauh. Teco mampu meramu permainan anak asuhnya
secara apik sejak dua tahun lalu. Hasilnya tiga piala diraih dalam satu tahun
yakni juara turnamen di Malaysia, Piala Presiden 2018 dan Liga 1 2018. Artinya
tanpa desas desus mafia bola pun Persija layak juara.
Sangat disayangkan PSSI lemot menangkap keresahan para
penggila bola Tanah Air tentang mafia bola sepekan sebelum Liga 1 berakhir.
Seharusnya sebagai induk organisasi sepak bola di Indonesia PSSI bertindak
cepat menangkis isu mafia bola dengan melakukan berbagai tahapan penting.
Logikanya, menempatkan
wasit-wasit terbaik di pertandingan menentukan pada pekan terakhir Liga 1
mutlak adanya. Bukan saja pada laga antara Persija dan PSM yang berebut juara,
tapi juga pada pertandingan tim yang berada di zona degradasi. Sebab di zona
ini tim-tim berebut lepas dari terlempar ke Liga 2.
Untuk mendukung ini PSSI mempunyai lima wasit yang
berlisensi FIFA. Mereka adalah Thoriq Alkatiri, Oky Dwi Putra, Yudi
Nurcahya, Dwi Purba Adi Wicaksana, dan Musthopa Umarella. Bahkan wasit Thoriq belum
lama ini masuk ke jajaran elit wasit federasi sepak bola Asia, AFC. Thoriq
sudah bertugas di pertandingan Piala Asia dan Liga Champions Asia.
Anehnya, PSSI justru menempatkan pengadil yang selama
ini kerap diprotes karena diragukan integritasnya. Wasit Prasetyo Hadi yang
memimpin laga Persija versus Mitra Kukar, pada Oktober lalu dilaporkan ke
operator liga oleh Sriwijaya FC lantaran banyak membuat keputusan salah dalam
laga PSIS versus Sriwijaya.
Dua kali tayangan Mata Najwa PSSI Bisa
Apa di Trans7 membuka
kengerian kita tentang betapa masifnya mafia bola bekerja. Bukti dan saksi
bermunculan. Kebusukan dimulai dari internal pengurus PSSI. Para Exco tidak
steril dari mafia, entah sebagai lembaga atau pribadi. Fakta demi fakta itu
bikin kita sesak napas.
Mengusut mafia bola sesulit mencari
kentut. Yang dicari ada tapi tidak kelihatan. PSSI pernah mencoba mengusut para
mafia bola pada Maret 1984 dengan membentuk Tim Antisuap. Namun hasilnya nihil.
Para bandar tetap berjaya, banyak klub Galatama yang jatuh miskin dan bubar di
tengah jalan. Sulitnya membasmi bandar judi dikarenakan keterlibatan orang
dalam PSSI dan klub. Pelakunya mulai pemilik klub, manajer, pelatih, pemain
hingga wasit.
PSSI pekan lalu menggandeng Polri untuk
memerangi mafia sepak bola. Kapolri Jenderal Pol. Tito Karnavian membentuk
Satuan Tugas Anti Pengaturan Skor Sepak Bola. Kolaborasi PSSI-Polri penting untuk memutus mata rantai
mafia bola. Spanyol dan Italia berhasil melakukan itu, kenapa kita tidak?
Para pemain, pelatih, manajer, pemilik klub harus membantu
Polri dengan memberikan data-data yang mereka punya. Kolaborasi PSSI-Polri ini momentum langka. Sikat semua yang terlibat. Jika
tidak, sepakbola Indonesia tidak akan pernah ke mana-mana.
Note: artikel dimuat Solopos, Senin (24/12).

No comments:
Post a Comment