Seorang kawan menggerutu saat Tim Nasional (Timnas) U19
Indonesia dikalahkan Timnas U19 Qatar beberapa hari lalu. Gerutuan yang khas
terjadi setiap kali tim sepak bola kita kalah dari negara lain. "Namanya
kalah ya kalah, mau skor berapapun tetap saja kalah.”
Saya memaklumi kegeramannya. Lini belakang Timnas U-19 begitu
keropos. Di babak pertama sudah ketinggalan 1-4. Pada 10 menit babak kedua
bertambah menjadi 1-6. Semua menduga Timnas pasti akan kalah. Dan itulah memang
yang terjadi. Anak asuh Indra Sjafrie
takluk oleh anak-anak muda Qatar.
Tapi bukan soal menang kalah yang ingin saya
bahas di sini melainkan tentang skor akhir. Secara pertandingan Timnas kita tidak
mendapat poin karena kalah. Tapi skor 5-6 itu luar biasa. Anak-anak muda itu
tidak menyerah meski tertinggal jauh dari Qatar. Mereka terus berlari,
merapikan kerja sama serangan lalu mencetak gol demi gol.
Semangat tempur Timnas seperti pasukan Der
Panzer Jerman kala menggilas tuan rumah Brasil 7-1 di edisi sepakbola terakbar
sejagat, Piala Dunia 2014. Witan Sulaiman dan kawan-kawan bermain kesetanan di paruh
babak kedua. Seolah ingin menebus kesalahan sang kapten, Nur Hidayat, yang
melakukan beberapa blunder hingga berbuah tiga gol Qatar pada babak pertama.
Dan semangat menggila itu bukan saja membuat pendukung
Merah Putih angkat topi untuk mereka tapi juga membuat Tim Garuda Jaya lolos ke
babak delapan besar Piala AFC 2018. Lima gol itu yang menjadi hitung-hitungan kala
Indonesia, Qatar, dan Uni Emirat Arab (UEA) memiliki poin yang sama (6).
Indonesia berada di peringkat kedua karena
punya agresivitas gol 6-6 di bawah Qatar (7-7). Dan UEA yang menghajar Qatar di
laga sebelumnya menangis karena hanya punya produktivitas gol 2-2.
Poin dari keteladanan anak asuh Indra Sjafrie
adalah pantang menyerah hingga detik terakhir. Persis seperti gelora para
penjuang tempo dulu memerdekakan bangsa ini dari penjajah. Andaikan ketika melawan
Qatar itu Indonesia hanya puas dengan gol keempat misalnya, sudah pasti mereka
yang tersingkir, bukan UEA.
Begitulah Indonesia seharusnya. Semangat
membara itu yang ditunjukkan para pejuang kita dulu. Tak kalah sebelum
berjuang, pantang minder sebelum bertanding.
Optimisme itu pula yang seharusnya kita pupuk
untuk Indonesia. Bukan pesimis bahwa Indonesia akan hancur 10 tahun atau 20
tahun lagi. Data-data tentang potensi kegagalan bukan untuk menakut-nakuti
melainkan untuk dicarikan antisipasi.
Saya tidak ingin terjebak dalam kooptasi
politik yang karut marut beberapa tahun terakhir. Saya menghindari
memperdebatkan kontestasi politik antara calon presiden petahana, Joko Widodo,
dengan penantangnya, Prabowo Subianto.
Kalau ada yang bertanya “kamu memilih capres
siapa”, tentu sebagai warga negara saya punya preferensi politik. Dan itu
bersifat rahasia atau istilah Orde Baru disebut langsung, umum, bebas, dan
rahasia, disingkat Luber. Siapa yang saya pilih adalah hak privasi saya nanti
di bilik suara.
Tapi sebagai seorang jurnalis saya harus
menjaga independensi agar tetap setia kepada nurani. Kesetiaan kepada nurani
itu yang akan menuntun saya bersikap adil. Jika ada yang baik pada petahana akan
saya dukung, jika ada yang tak baik saya kritisi. Begitupun pada kubu oposisi,
jika ada yang baik saya apresiasi dan jika ada yang tidak baik tentu saya akan
ingatkan.
Saya sedang berbicara tentang optimisme. Soal
hasil akhir itu prerogatif Tuhan. Tapi kita diberi kebebasan utk memaksimalkan
proses. Dan hasil akhir tidak akan mengkhianati proses. "Tidaklah Allah
mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu mengubah nasibnya sendiri" (Q.S.
Ar Raad ayat 11).
Jika Allah saja menyerahkan proses sepenuhnya kepada
manusia kenapa masih ada pesimisme di diri kita? Menang kalah urusan belakang,
hancur atau jaya urusan nanti, yang penting maju terus pantang mundur.
Ada slogan di markas militer yang menarik untuk
dijadikan panutan. “Kami bukanlah prajurit hebat tapi kami prajurit terlatih.
Pantang kami pulang tanpa membawa kehormatan.”
Bergidik enggak dengan slogan itu? Kalau saya sih
yes, enggak tahu kalau Anang, eh Anda..hehehe.
Menang kalah bukan soal. Yang penting
terhormat. Menang terhormat kalah pun dengan terhormat. Pulang dengan kepala
tegak laksana pejuang, bukan dengan muka tertekuk bak pecundang.
Kita harus punya harga diri sebagai bangsa.
Jika pun kondisi Indonesia lebih buruk di masa mendatang, setidaknya anak cucu
mencatat bahwa nenek moyang mereka dulu berjuang, bukan hanya
ongkang-ongkang.
Lolos tidaknya Indonesia ke Piala Dunia U20
Polandia akan ditentukan Minggu (28/10) mendatang. Tapi pekan ini kita menjadi
saksi para pejuang lapangan hijau telah melakukan apa yang mereka bisa untuk
Indonesia. Mereka tak berpikir kaki bakal patah, jantung akan copot karena
harus berlari tanpa henti selama 90 menit. Yang ada di benak mereka hanya satu:
Indonesia!
Mereka lahir dan besar di Indonesia. Darah dan
jiwa mereka terukir dari hasil bumi Indonesia. Mereka lahir dan akan mati di
Indonesia. Jadi selagi nyawa masih dikandung badan, apapun mereka persembahkan untuk
negeri tercinta.
Sebagai insan beragama mereka sadar cinta
tanah air adalah bagian dari jihad. Sebagaimana dulu para ulama menggelorakan
semangat jihad itu untuk mempersuasi rakyat mengusir penjajah.
Ini pelajaran berharga yang kita petik dari
karya kecil Indra Sjafrie, pelatih yang bukan saja pandai mengajarkan
teknik-teknik bermain bola tapi juga piawai menyuntikkan motivasi. Jarang ada
sebuah tim yang telah ketinggalan 1-6 tiba-tiba berubah bak singa kesurupan
hingga mengejar skornya menjadi 5-6.
Andaikan para pemain Qatar dan ofisialnya tidak
berlebihan bermain drama di 10 menit terakhir, bukan tidak mungkin Timnas U19 Indonesia
bisa menyamakan kedudukan atau malah menang. Demi meredam Indonesia pelatih
Qatar Bruno Miguel Pinheiro rela mempermalukan dirinya dengan masuk ke
lapangan agar waktu kian terulur.
Semangat pantang menyerah itu mengingatkan
kita pada heroiknya 11 pemain Liverpool yang mengejar ketertinggalan gol 0-3
dari AC Milan pada final Liga Champions 2005 silam. Setelah ketinggalan 0-3 di
babak pertama, Steven Gerrard
dan kawan-kawan mengamuk di babak kedua. Mereka menyamakan skor 3-3 lalu menang
di drama adu penalti. Juara!
Liverpool menunjukkan bahwa tidak ada yang tidak
mungkin dalam hidup. Asal mau bekerja keras, tekun, paham ilmu maka setiap
kesulitan hidup akan mudah diatasi.
Mungkinkah Timnas U19 bisa mengalahkan Jepang di
babak delapan besar untuk melenggang ke Piala Dunia? Bisa saja, kenapa tidak?
Jepang memang kekuatan Asia dan akrab dengan piala dunia, tapi bukankah Evan
Dimas dan kawan-kawan pernah menaklukkan Korea Selatan pada 2014 silam? Padahal
ketika itu Korea Selatan merupakan jawara Asia.
Timnas U16 juga mengalahkan Iran pada babak penyisihan
Piala AFC U16, September lalu. Sama dengan Jepang dan Korea Selatan, Iran termasuk
salah satu kekuatan sepak bola Asia.
Kunci dari kemenangan melawan Korea Selatan dan Iran
adalah semangat pantang menyerah, selalu berpikir positif, kompak, saling
menguatkan dan melengkapi.
Falsafah sepak bola ini bisa diterapkan dalam
konteks politik. Optimisme harus dibangun terus menerus tanpa henti. Indonesia
memang belum lepas dari status negara berkembang. Begitu banyak yang harus
diperbaiki agar bangsa dan negara ini sejajar dengan negara-negara maju.
Tapi tidak ada yang tak mungkin. Kuncinya adalah
berpikir positif, optimis, saling bekerja sama. Sudahi mencari salah lawan
politik, setop berebut benar. Hentikan menebar fitnah sesama anak negeri. Mari
berbuat demi Indonesia jaya.
*Artikel dimuat di Solopos, 27 Oktober 2018
* Sumber foto: Sriwijaya Post

