Presiden Joko Widodo membombardir publik dengan
sejumlah kebijakan populis di tahun politik.
Setelah menaikkan anggaran perlindungan sosial untuk
warga miskin sebesar 32,8% (menjadi Rp387,3 triliun), dana desa dari Rp60
triliun menjadi Rp70 triliun, Beasiswa Bidik Misi naik 19,51%, penerima bantuan
iuran (PBI) jaminan kesehatan nasional (JKN) naik sebesar 4,7%, dan Program Indonesia
Pintar naik 3,7%, kini tiga kebijakan populis baru dikeluarkan Jokowi.
Apa saja? Pertama, kenaikan gaji PNS dan pensiunan
rata-rata 5%, lalu perekrutan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK)
yang difokuskan ke tenaga honorer dan terakhir gaji perangkat desa setara PNS
golongan IIA.
Sah kah yang dilakukan Jokowi? Sah. Tidak ada aturan
hukum yang dilanggar atas kebijakan amal karitatif (kasih sayang) yang
berpotensi menaikkan elektabilitas dan simpati masyarakat itu.
Tapi kenapa baru sekarang kebijakan itu dikeluarkan?
Kenapa tidak dari dulu sebelum masa kampanye? Itulah untungnya menjadi petahana
alias incumbent. Siapapun dia, dari partai manapun, selama berstatus incumbent
ia akan diuntungkan oleh posisinya sebagai penguasa.
Petahana bisa mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang
mengundang simpati publik tanpa bisa digugat secara hukum. Ia memang pelaksana
pemerintahan, ia pula yang berhak untuk menelurkan kebijakan-kebijakan untuk
rakyat.
Etiskah? Nah pada norma ini yang bisa diperdebatkan.
Jika memang untuk kepentingan masyarakat kenapa kebijakan-kebijakan itu tidak
dikeluarkan jauh sebelum masa kampanye?
Suka-suka gue dong, gue kan petahana! Mungkin begitu
jawaban kocaknya. Sebab, bukan hanya Jokowi yang memanfaatkan momentum menjadi
petahana. Presiden sebelumnya, Susilo Bambang Yudhoyono, kala ditantang pada
periode keduanya (2009) oleh Megawati Soekarnoputri dan Jusuf Kalla juga
mengeluarkan jurus serupa. Kala itu ia menurunkan harga bahan bakar minyak
(BBM), memberikan bantuan langsung tunai (BLT) dan lain sebagainya.
Bukan hanya petahana di tingkat puncak, incumbent di
daerah pun melakukan hal serupa. Wah kalau gitu tidak adil dong, petahana pasti
menang? Belum tentu. Fauzi Bowo kalah saat berkompetisi dalam status Gubernur
DKI Jakarta. Siapa yang mengalahkannya? Ya, Jokowi ini.
Pada Pilkada serentak 2018 lalu juga banyak petahana
yang keok. Di antaranya Gubernur Lampung Muhammad Rico Ficardo, Gubernur Maluku
Said Assegaf dan Gubernur Papua, Lukas Enembe. Petahana yang punya nama besar
walaupun “hanya” berstatus Wakil Gubernur, Gus Ipul (Jawa Timur) dan Dedy
Mizwar (Jawa Barat) juga tak mampu berbuat banyak menghadapi penantangnya.
Di Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, yang diramal oleh sejumlah
lembaga survei bakal mendapatkan 70 persen suara karena berstatus petahana,
hanya memperoleh sekitar 55 persen pemilih. Suara sisanya direbut Sudirman Said
yang kini menjadi tim sukses Prabowo-Sandi.
Tapi memang lebih banyak yang berhasil kala berstatus
sebagai petahana. Wali Kota Solo F.X. Hadi Rudyatmo tak tergoyahkan ketika
bersaing dengan anak buahnya, Anung Indro Susanto. Kala itu Rudy, sapaan akrabnya,
adalah petahana yang menggantikan Jokowi yang promosi ke DKI Jakarta.
Pada Pilkada Serentak 2018 lalu, Rahmat Effendi tak
bisa digoyang sebagai Wali Kota Bekasi. Demikian pula Wali Kota Bogor Bima Arya
dan Bupati Cirebon Sunjaya Purwadi. (Eiit…Khusus yang terakhir ini anomali
karena Sunjaya dicokok KPK karena kasus
suap, tak lama setelah menjabat untuk kali kedua. Alamaaks…)
Bahkan dalam kontestasi tingkat mikro semacam
pemilihan kepala desa (pilkades) pun petahana selalu lebih diuntungkan. Itu yang
terjadi di Sukoharjo dan Wonogiri, bulan lalu.
----------------
Begitulah fenomena
perpolitikan di Tanah Air. Suka atau tidak suka, rela atau tidak rela petahana
selalu dalam posisi mendapat poin lebih dibandingkan penantang.
Setidaknya ada lima alasan
petahana berpotensi menang. Pertama, rekam jejaknya selama memimpin di
periode pertama. Jika bagus dia akan mudah menang, seperti yang terjadi pada
Jokowi di periode kedua pemilihan Wali Kota Solo, 2010 silam. Tapi jika rekam
jejaknya jelek, itu menjadi alasan yang mudah untuk menjatuhkan sang incumbent.
Kedua,
calon petahana sudah populer atau sudah lebih dikenal oleh masyarakat
dibandingkan penantangnya. Sebab dalam sistem demokrasi popularitas adalah
modal penting untuk meraup suara rakyat. Karenanya banyak artis yang menjajal
peruntungan sebagai anggota DPR, terlepas ia punya keahlian atau tidak, yang
penting terkenal.
Alasan ketiga, incumbent menguasai dan mampu
menjangkau semua segmen pemilih. Ya wajar, ia sudah pernah memimpin selama lima
tahun, waktu yang panjang untuk bisa blusukan ke sana ke mari.
Keempat, petahana mampu menggerakkan tokoh informal maupun
formal yang berada di bawah kendalinya, termasuk birokrasi. Nah inilah yang
sering disalahgunakan oleh incumbent. Oleh sebab itu, seruan PNS (ASN) dan perangkat
desa/kelurahan netral harus terus digencarkan agar pesta demokrasi berjalan
jujur dan adil.
Yang terakhir, incumbent biasanya lebih siap
secara finansial. Sebab selama menjabat, gaji petahana relatif tidak terlalu
banyak terpakai karena semua keperluannya sudah ditangggung negara.
Dalam kasus Pilpres 2019 kali ini tampaknya
keuntungan petahana pada bagian terakhir ini tidak terlalu mutlak. Sebab,
pasangan Prabowo, Sandiaga Uno relatif punya dana untuk biaya kampanye meraih
simpati rakyat.
Yang pasti, Pilpres dan Pileg tahun ini harus
JURDIL. Bagaimana hasilnya nanti? Mari kita nikmati pesta demokrasi ini sembari
membaca buku dan minum kopi…
Solo, 16 Januari 2019
Abu Nadhif


