Wednesday, January 16, 2019

PETAHANA OH PETAHANA



Presiden Joko Widodo membombardir publik dengan sejumlah kebijakan populis di tahun politik.

Setelah menaikkan anggaran perlindungan sosial untuk warga miskin sebesar 32,8% (menjadi Rp387,3 triliun), dana desa dari Rp60 triliun menjadi Rp70 triliun, Beasiswa Bidik Misi naik 19,51%, penerima bantuan iuran (PBI) jaminan kesehatan nasional (JKN) naik sebesar 4,7%, dan Program Indonesia Pintar naik 3,7%, kini tiga kebijakan populis baru dikeluarkan Jokowi.

Apa saja? Pertama, kenaikan gaji PNS dan pensiunan rata-rata 5%, lalu perekrutan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) yang difokuskan ke tenaga honorer dan terakhir gaji perangkat desa setara PNS golongan IIA.

Sah kah yang dilakukan Jokowi? Sah. Tidak ada aturan hukum yang dilanggar atas kebijakan amal karitatif (kasih sayang) yang berpotensi menaikkan elektabilitas dan simpati masyarakat itu.

Tapi kenapa baru sekarang kebijakan itu dikeluarkan? Kenapa tidak dari dulu sebelum masa kampanye? Itulah untungnya menjadi petahana alias incumbent. Siapapun dia, dari partai manapun, selama berstatus incumbent ia akan diuntungkan oleh posisinya sebagai penguasa.

Petahana bisa mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang mengundang simpati publik tanpa bisa digugat secara hukum. Ia memang pelaksana pemerintahan, ia pula yang berhak untuk menelurkan kebijakan-kebijakan untuk rakyat.

Etiskah? Nah pada norma ini yang bisa diperdebatkan. Jika memang untuk kepentingan masyarakat kenapa kebijakan-kebijakan itu tidak dikeluarkan jauh sebelum masa kampanye?

Suka-suka gue dong, gue kan petahana! Mungkin begitu jawaban kocaknya. Sebab, bukan hanya Jokowi yang memanfaatkan momentum menjadi petahana. Presiden sebelumnya, Susilo Bambang Yudhoyono, kala ditantang pada periode keduanya (2009) oleh Megawati Soekarnoputri dan Jusuf Kalla juga mengeluarkan jurus serupa. Kala itu ia menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM), memberikan bantuan langsung tunai (BLT) dan lain sebagainya.

Bukan hanya petahana di tingkat puncak, incumbent di daerah pun melakukan hal serupa. Wah kalau gitu tidak adil dong, petahana pasti menang? Belum tentu. Fauzi Bowo kalah saat berkompetisi dalam status Gubernur DKI Jakarta. Siapa yang mengalahkannya? Ya, Jokowi ini.

Pada Pilkada serentak 2018 lalu juga banyak petahana yang keok. Di antaranya Gubernur Lampung Muhammad Rico Ficardo, Gubernur Maluku Said Assegaf dan Gubernur Papua, Lukas Enembe. Petahana yang punya nama besar walaupun “hanya” berstatus Wakil Gubernur, Gus Ipul (Jawa Timur) dan Dedy Mizwar (Jawa Barat) juga tak mampu berbuat banyak menghadapi penantangnya.

Di Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, yang diramal oleh sejumlah lembaga survei bakal mendapatkan 70 persen suara karena berstatus petahana, hanya memperoleh sekitar 55 persen pemilih. Suara sisanya direbut Sudirman Said yang kini menjadi tim sukses Prabowo-Sandi.

Tapi memang lebih banyak yang berhasil kala berstatus sebagai petahana. Wali Kota Solo F.X. Hadi Rudyatmo tak tergoyahkan ketika bersaing dengan anak buahnya, Anung Indro Susanto. Kala itu Rudy, sapaan akrabnya, adalah petahana yang menggantikan Jokowi yang promosi ke DKI Jakarta.
Pada Pilkada Serentak 2018 lalu, Rahmat Effendi tak bisa digoyang sebagai Wali Kota Bekasi. Demikian pula Wali Kota Bogor Bima Arya dan Bupati Cirebon Sunjaya Purwadi. (Eiit…Khusus yang terakhir ini anomali karena  Sunjaya dicokok KPK karena kasus suap, tak lama setelah menjabat untuk kali kedua. Alamaaks…)

Bahkan dalam kontestasi tingkat mikro semacam pemilihan kepala desa (pilkades) pun petahana selalu lebih diuntungkan. Itu yang terjadi di Sukoharjo dan Wonogiri, bulan lalu.

----------------


Begitulah fenomena perpolitikan di Tanah Air. Suka atau tidak suka, rela atau tidak rela petahana selalu dalam posisi mendapat poin lebih dibandingkan penantang.
Setidaknya ada lima alasan petahana berpotensi menang. Pertama, rekam jejaknya selama memimpin di periode pertama. Jika bagus dia akan mudah menang, seperti yang terjadi pada Jokowi di periode kedua pemilihan Wali Kota Solo, 2010 silam. Tapi jika rekam jejaknya jelek, itu menjadi alasan yang mudah untuk menjatuhkan sang incumbent.
Kedua,  calon petahana sudah populer atau sudah lebih dikenal oleh masyarakat dibandingkan penantangnya. Sebab dalam sistem demokrasi popularitas adalah modal penting untuk meraup suara rakyat. Karenanya banyak artis yang menjajal peruntungan sebagai anggota DPR, terlepas ia punya keahlian atau tidak, yang penting terkenal.
Alasan ketiga, incumbent menguasai dan mampu menjangkau semua segmen pemilih. Ya wajar, ia sudah pernah memimpin selama lima tahun, waktu yang panjang untuk bisa blusukan ke sana ke mari.
Keempat, petahana mampu menggerakkan tokoh informal maupun formal yang berada di bawah kendalinya, termasuk birokrasi. Nah inilah yang sering disalahgunakan oleh incumbent. Oleh sebab itu, seruan PNS (ASN) dan perangkat desa/kelurahan netral harus terus digencarkan agar pesta demokrasi berjalan jujur dan adil.
Yang terakhir, incumbent biasanya lebih siap secara finansial. Sebab selama menjabat, gaji petahana relatif tidak terlalu banyak terpakai karena semua keperluannya sudah ditangggung negara.
Dalam kasus Pilpres 2019 kali ini tampaknya keuntungan petahana pada bagian terakhir ini tidak terlalu mutlak. Sebab, pasangan Prabowo, Sandiaga Uno relatif punya dana untuk biaya kampanye meraih simpati rakyat.
Yang pasti, Pilpres dan Pileg tahun ini harus JURDIL. Bagaimana hasilnya nanti? Mari kita nikmati pesta demokrasi ini sembari membaca buku dan minum kopi…

Solo, 16 Januari 2019

Abu Nadhif


Tuesday, December 25, 2018

Indonesia dan Piala Dunia




Seorang kawan menggerutu saat Tim Nasional (Timnas) U19 Indonesia dikalahkan Timnas U19 Qatar beberapa hari lalu. Gerutuan yang khas terjadi setiap kali tim sepak bola kita kalah dari negara lain. "Namanya kalah ya kalah, mau skor berapapun tetap saja kalah.”


Saya memaklumi kegeramannya. Lini belakang Timnas U-19 begitu keropos. Di babak pertama sudah ketinggalan 1-4. Pada 10 menit babak kedua bertambah menjadi 1-6. Semua menduga Timnas pasti akan kalah. Dan itulah memang yang terjadi.  Anak asuh Indra Sjafrie takluk oleh anak-anak muda Qatar. 

Tapi bukan soal menang kalah yang ingin saya bahas di sini melainkan tentang skor akhir. Secara pertandingan Timnas kita tidak mendapat poin karena kalah. Tapi skor 5-6 itu luar biasa. Anak-anak muda itu tidak menyerah meski tertinggal jauh dari Qatar. Mereka terus berlari, merapikan kerja sama serangan lalu mencetak gol demi gol.

Semangat tempur Timnas seperti pasukan Der Panzer Jerman kala menggilas tuan rumah Brasil 7-1 di edisi sepakbola terakbar sejagat, Piala Dunia 2014. Witan Sulaiman dan kawan-kawan bermain kesetanan di paruh babak kedua. Seolah ingin menebus kesalahan sang kapten, Nur Hidayat, yang melakukan beberapa blunder hingga berbuah tiga gol Qatar pada babak pertama.

Dan semangat menggila itu bukan saja membuat pendukung Merah Putih angkat topi untuk mereka tapi juga membuat Tim Garuda Jaya lolos ke babak delapan besar Piala AFC 2018. Lima gol itu yang menjadi hitung-hitungan kala Indonesia, Qatar, dan Uni Emirat Arab (UEA) memiliki poin yang sama (6).

Indonesia berada di peringkat kedua karena punya agresivitas gol 6-6 di bawah Qatar (7-7). Dan UEA yang menghajar Qatar di laga sebelumnya menangis karena hanya punya produktivitas gol 2-2. 

Poin dari keteladanan anak asuh Indra Sjafrie adalah pantang menyerah hingga detik terakhir. Persis seperti gelora para penjuang tempo dulu memerdekakan bangsa ini dari penjajah. Andaikan ketika melawan Qatar itu Indonesia hanya puas dengan gol keempat misalnya, sudah pasti mereka yang tersingkir, bukan UEA.

Begitulah Indonesia seharusnya. Semangat membara itu yang ditunjukkan para pejuang kita dulu. Tak kalah sebelum berjuang, pantang minder sebelum bertanding.

Optimisme itu pula yang seharusnya kita pupuk untuk Indonesia. Bukan pesimis bahwa Indonesia akan hancur 10 tahun atau 20 tahun lagi. Data-data tentang potensi kegagalan bukan untuk menakut-nakuti melainkan untuk dicarikan antisipasi. 

Saya tidak ingin terjebak dalam kooptasi politik yang karut marut beberapa tahun terakhir. Saya menghindari memperdebatkan kontestasi politik antara calon presiden petahana, Joko Widodo, dengan penantangnya, Prabowo Subianto.

Kalau ada yang bertanya “kamu memilih capres siapa”, tentu sebagai warga negara saya punya preferensi politik. Dan itu bersifat rahasia atau istilah Orde Baru disebut langsung, umum, bebas, dan rahasia, disingkat Luber. Siapa yang saya pilih adalah  hak privasi saya nanti di bilik suara.

Tapi sebagai seorang jurnalis saya harus menjaga independensi agar tetap setia kepada nurani. Kesetiaan kepada nurani itu yang akan menuntun saya bersikap adil. Jika ada yang baik pada petahana akan saya dukung, jika ada yang tak baik saya kritisi. Begitupun pada kubu oposisi, jika ada yang baik saya apresiasi dan jika ada yang tidak baik tentu saya akan ingatkan.

Saya sedang berbicara tentang optimisme. Soal hasil akhir itu prerogatif Tuhan. Tapi kita diberi kebebasan utk memaksimalkan proses. Dan hasil akhir tidak akan mengkhianati proses. "Tidaklah Allah mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu mengubah nasibnya sendiri" (Q.S. Ar Raad ayat 11).

Jika Allah saja menyerahkan proses sepenuhnya kepada manusia kenapa masih ada pesimisme di diri kita? Menang kalah urusan belakang, hancur atau jaya urusan nanti, yang penting maju terus pantang mundur. 

Ada slogan di markas militer yang menarik untuk dijadikan panutan. “Kami bukanlah prajurit hebat tapi kami prajurit terlatih. Pantang kami pulang tanpa membawa kehormatan.” 

Bergidik enggak dengan slogan itu? Kalau saya sih yes, enggak tahu kalau Anang, eh Anda..hehehe. 
Menang kalah bukan soal. Yang penting terhormat. Menang terhormat kalah pun dengan terhormat. Pulang dengan kepala tegak laksana pejuang, bukan dengan muka tertekuk bak pecundang.

Kita harus punya harga diri sebagai bangsa. Jika pun kondisi Indonesia lebih buruk di masa mendatang, setidaknya anak cucu mencatat bahwa nenek moyang mereka dulu berjuang, bukan hanya ongkang-ongkang. 

Lolos tidaknya Indonesia ke Piala Dunia U20 Polandia akan ditentukan Minggu (28/10) mendatang. Tapi pekan ini kita menjadi saksi para pejuang lapangan hijau telah melakukan apa yang mereka bisa untuk Indonesia. Mereka tak berpikir kaki bakal patah, jantung akan copot karena harus berlari tanpa henti selama 90 menit. Yang ada di benak mereka hanya satu: Indonesia! 

Mereka lahir dan besar di Indonesia. Darah dan jiwa mereka terukir dari hasil bumi Indonesia. Mereka lahir dan akan mati di Indonesia. Jadi selagi nyawa masih dikandung badan, apapun mereka persembahkan untuk negeri tercinta.

Sebagai insan beragama mereka sadar cinta tanah air adalah bagian dari jihad. Sebagaimana dulu para ulama menggelorakan semangat jihad itu untuk mempersuasi rakyat mengusir penjajah. 

Ini pelajaran berharga yang kita petik dari karya kecil Indra Sjafrie, pelatih yang bukan saja pandai mengajarkan teknik-teknik bermain bola tapi juga piawai menyuntikkan motivasi. Jarang ada sebuah tim yang telah ketinggalan 1-6 tiba-tiba berubah bak singa kesurupan hingga mengejar skornya menjadi 5-6.

Andaikan para pemain Qatar dan ofisialnya tidak berlebihan bermain drama di 10 menit terakhir, bukan tidak mungkin Timnas U19 Indonesia bisa menyamakan kedudukan atau malah menang. Demi meredam Indonesia pelatih Qatar Bruno Miguel Pinheiro rela mempermalukan dirinya dengan masuk ke lapangan agar waktu kian terulur. 

Semangat pantang menyerah itu mengingatkan kita pada heroiknya 11 pemain Liverpool yang mengejar ketertinggalan gol 0-3 dari AC Milan pada final Liga Champions 2005 silam. Setelah ketinggalan 0-3 di babak pertama, Steven Gerrard dan kawan-kawan mengamuk di babak kedua. Mereka menyamakan skor 3-3 lalu menang di drama adu penalti. Juara!

Liverpool menunjukkan bahwa tidak ada yang tidak mungkin dalam hidup. Asal mau bekerja keras, tekun, paham ilmu maka setiap kesulitan hidup akan mudah diatasi.

Mungkinkah Timnas U19 bisa mengalahkan Jepang di babak delapan besar untuk melenggang ke Piala Dunia? Bisa saja, kenapa tidak? Jepang memang kekuatan Asia dan akrab dengan piala dunia, tapi bukankah Evan Dimas dan kawan-kawan pernah menaklukkan Korea Selatan pada 2014 silam? Padahal ketika itu Korea Selatan merupakan jawara Asia.

Timnas U16 juga mengalahkan Iran pada babak penyisihan Piala AFC U16, September lalu. Sama dengan Jepang dan Korea Selatan, Iran termasuk salah satu kekuatan sepak bola Asia.

Kunci dari kemenangan melawan Korea Selatan dan Iran adalah semangat pantang menyerah, selalu berpikir positif, kompak, saling menguatkan dan melengkapi.

Falsafah sepak bola ini bisa diterapkan dalam konteks politik. Optimisme harus dibangun terus menerus tanpa henti. Indonesia memang belum lepas dari status negara berkembang. Begitu banyak yang harus diperbaiki agar bangsa dan negara ini sejajar dengan negara-negara maju.

Tapi tidak ada yang tak mungkin. Kuncinya adalah berpikir positif, optimis, saling bekerja sama. Sudahi mencari salah lawan politik, setop berebut benar. Hentikan menebar fitnah sesama anak negeri. Mari berbuat demi Indonesia jaya.



*Artikel dimuat di Solopos, 27 Oktober 2018
* Sumber foto: Sriwijaya Post

Mencari Kentut



Suatu hari di awal tahun 1961 Presiden Sukarno bertitah. Ketua Perserikatan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI), R. Maladi yang ada di depannya memperhatikan dengan seksama. “Medali emas harga mati!” kata Bung Karno, merujuk pada event Asian Games yang akan digelar di Jakarta pada 1962.

Pesan Panglima Besar Revolusi itu bukan tanpa sebab. Untuk kali pertama Indonesia akan menjadi tuan rumah event olahraga terbesar di Asia. Bukan hanya olahraga, Bung Karno juga punya misi politik internasional dalam Asian Games. Sang Proklamator ingin menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia bukan negara ecek-ecek meski baru berumur 17 tahun.

Tragisnya, R. Maladi gagal mengemban dhawuh Putra Sang Fajar. Alih-alih meraih emas di Asian Games 1962, Tim Nasional Indonesia justru menorehkan aib terbesar dalam sejarah sepak bola Tanah Air. Sebanyak 18 dari 23 pemain Timnas terlibat pengaturan skor dalam laga uji coba yang merupakan persiapan menuju Asian Games.

Para bandar judi berhasil merayu Ramang dan kawan-kawan agar Timnas mengalah kala melawan Malmoe, Yugoslavia Selection, Thailand, dan Petrorul Tjeko Combined. Sebagai imbalannya, para penggawa Garuda memperoleh setumpuk rupiah.

Sukarno marah besar. Pelatih Toni Pogacnik yang sebelumnya menghadiahkan prestasi menembus semifinal Asian Games 1954, medali perunggu Asian Games Tokyo 1958, dan lolos ke Olimpiade Melbourne hanya bisa sesenggukan. Tak ada pilihan lain, pria asal Yugoslavia itu memecat 18 pemain andalannya. Ia berburu pemain baru. Tapi, Indonesia gagal total di Asian Games 1962 yang dilangsungkan di rumah sendiri, Stadion Utama Gelora Bung Karno.

Noda di tahun 1961 tersebut sebenarnya merupakan puncak gunung es mafia bola masa itu. Sejak Indonesia digelari Macan Asia oleh Koran Star Weekly (1954) berbagai kasus suap silih berganti menerpa para pemain nasional.

Sebelum kasus Asian Games, Ramang--bintang PSM Makassar dan Timnas Indonesia—terbukti mengatur skor kala PSM menghadapi Persebaya pada Kejurnas PSSI 1961 yang berakhir dengan skor 3-3. Tragedi tersebut dikenal sebagai Peristiwa Surabaya.  PSM langsung memecat Ramang.

Beberapa bulan setelah Peristiwa Surabaya, giliran tiga pemain PSIM Jogjakarta terbukti menerima suap ketika PSIM kalah 1-7 dalam laga persahabatan melawan Thailand di Jogjakarta.

Setelah itu suap dalam sepak bola tak pernah berhenti. Galatama yang dimulai pada 1979 dan diharapkan menjadi cikal bakal liga profesional di Indonesia justru menjadi lahan basah bagi para penjudi.

Pada 1982, Kaslan Rosidi, bos Klub Cahaya Kita menghukum 10 pemainnya yang terlibat kasus suap. Benny Muyono, bos Klub Warna Agung bahkan membubarkan klubnya pada tahun ketiga kompetisi setelah setiap musim ada saja pemainnya yang menerima suap dari bandar judi.

Awal Desember lalu legenda Timnas Indonesia Rochy Putiray melontarkan tantangan terbuka ke publik. “Ayo siapa yang berani taruhan dengan saya, bahwa tahun ini  Persija Jakarta yang juara,” tantang Rochy dalam salah satu wawancara  yang beredar di Youtube.  

Tantangan terbuka itu membuat Rochy panen kritikan sekaligus dukungan di dunia maya. Yang mengkritik kemungkinan besar pendukung Persija Jakarta yang rindu tim mereka meraih juara setelah puasa gelar 17 tahun. Yang mendukung Rochy bisa jadi suporter PSM Makassar atau tim lain rival Persija atau penggila bola nonsimpatisan klub tapi peduli sportivitas.   

Tebakan Rochy benar. Persija juara Liga 1 2018. Sayangnya kemenangan Persija diwarnai isu tidak sedap. Dua gol Marko Simic ke gawang Mitra Kukar kontroversial. Gol pertama lahir dari penalti setelah pemain Mitra dianggap menjatuhkan striker andalan Persija, Marko Simic.

Tapi dalam tayangan ulang di televisi terlihat penalti itu tidak layak diberikan wasit. Alih-alih menjatuhkan Simic, pemain belakang Mitra justru yang terjatuh lantaran diapit dua pemain Persija—salah satunya Simic.

Gol kedua juga tidak kalah mengherankan. Bahkan pelatih Rahmad Darmawan yang terkenal kalem dan tak suka memprotes wasit, pada hari itu tiba-tiba berubah 180 derajat. Ia mendatangi wasit dan meluapkan kemarahannya.

Dan lagi-lagi dalam tayangan ulang terlihat gol itu seharusnya tidak sah. Sebab sebelum Simic menyundul bola ke gawang, rekannya Ramdani Lestaluhu lebih dulu menghalangi kiper Mitra Kukar Yon Jaehon yang hendak melompat ke udara. “Itu jelas pelanggaran,” kata anggota Komite Wasit, Purwanto. “Wasit buta,” kecam Rochy Putiray.

Sangat disayangkan Liga 1 2018 antiklimaks, persis yang terjadi pada musim sebelumnya. Tahun lalu Bhayangkara FC juara Liga 1 karena mendapat tambahan tiga poin hasil sidang Komisi Disiplin. Tambahan poin diperoleh Bhayangkara sebab pada pertandingan sebelumnya melawan Mitra Kukar, Mitra memainkan Mohammed Sissoko, yang sedang dijatuhi sanksi PSSI. Gara-gara tambahan tiga poin untuk Bhayangkara, Bali United yang sebelumnya memimpin klasemen gagal juara.

Sebagaimana PSM Makassar, Bali United pun panen simpati. Dua klub itu disebut sebagai juara tanpa piala. Sebuah fenomena yang sangat tidak sehat untuk sebuah olahraga yang mengedepankan azas fairplay.   

Menariknya, ada satu nama di balik juaranya Bhayangkara FC (2017) dan Persija (2018), Gede Widiade. Saat Bhayangkara juara Gede Widiade adalah pemilik saham tim milik Polri tersebut. Ketika Persija juara tahun ini, Gede menjabat direktur utama di perusahaan yang menaungi tim Ibu Kota tersebut. Siapa pemilik saham terbesar Persija? Joko Driyono, Wakil Ketua PSSI. Kebetulan bukan?

Sejatinya saya—dan pasti jutaan umat sepak bola lainnya—ingin Persija juara tanpa cacat. Juara yang lahir benar-benar karena permainan jujur dan kerja keras di lapangan. Dengan meminggirkan faktor di luar teknik, dalam kaca mata saya Persija layak juara.

Di tangan Stefano Teco Cugurra tahun ini Persija sangat komplet. Mereka kokoh dalam pertahanan dan menyeramkan kala menyerang. Organisasi permainan Macan Kemayoran terjalin rapi. Kualitas pemain inti dan pemain pelapis tidak berbeda jauh. Teco mampu meramu permainan anak asuhnya secara apik sejak dua tahun lalu. Hasilnya tiga piala diraih dalam satu tahun yakni juara turnamen di Malaysia, Piala Presiden 2018 dan Liga 1 2018. Artinya tanpa desas desus mafia bola pun Persija layak juara.

Sangat disayangkan PSSI lemot menangkap keresahan para penggila bola Tanah Air tentang mafia bola sepekan sebelum Liga 1 berakhir. Seharusnya sebagai induk organisasi sepak bola di Indonesia PSSI bertindak cepat menangkis isu mafia bola dengan melakukan berbagai tahapan penting.

Logikanya, menempatkan wasit-wasit terbaik di pertandingan menentukan pada pekan terakhir Liga 1 mutlak adanya. Bukan saja pada laga antara Persija dan PSM yang berebut juara, tapi juga pada pertandingan tim yang berada di zona degradasi. Sebab di zona ini tim-tim berebut lepas dari terlempar ke Liga 2.

Untuk mendukung ini PSSI mempunyai lima wasit yang berlisensi FIFA. Mereka adalah Thoriq Alkatiri, Oky Dwi Putra, Yudi Nurcahya, Dwi Purba Adi Wicaksana, dan Musthopa Umarella. Bahkan wasit Thoriq belum lama ini masuk ke jajaran elit wasit federasi sepak bola Asia, AFC. Thoriq sudah bertugas di pertandingan Piala Asia dan Liga Champions Asia.

Anehnya, PSSI justru menempatkan pengadil yang selama ini kerap diprotes karena diragukan integritasnya. Wasit Prasetyo Hadi yang memimpin laga Persija versus Mitra Kukar, pada Oktober lalu dilaporkan ke operator liga oleh Sriwijaya FC lantaran banyak membuat keputusan salah dalam laga PSIS versus Sriwijaya.

Dua kali tayangan Mata Najwa PSSI Bisa Apa di Trans7 membuka kengerian kita tentang betapa masifnya mafia bola bekerja. Bukti dan saksi bermunculan. Kebusukan dimulai dari internal pengurus PSSI. Para Exco tidak steril dari mafia, entah sebagai lembaga atau pribadi. Fakta demi fakta itu bikin kita sesak napas.

Mengusut mafia bola sesulit mencari kentut. Yang dicari ada tapi tidak kelihatan. PSSI pernah mencoba mengusut para mafia bola pada Maret 1984 dengan membentuk Tim Antisuap. Namun hasilnya nihil. Para bandar tetap berjaya, banyak klub Galatama yang jatuh miskin dan bubar di tengah jalan. Sulitnya membasmi bandar judi dikarenakan keterlibatan orang dalam PSSI dan klub. Pelakunya mulai pemilik klub, manajer, pelatih, pemain hingga wasit.

PSSI pekan lalu menggandeng Polri untuk memerangi mafia sepak bola. Kapolri Jenderal Pol. Tito Karnavian membentuk Satuan Tugas Anti Pengaturan Skor Sepak Bola. Kolaborasi PSSI-Polri penting untuk memutus mata rantai mafia bola. Spanyol dan Italia berhasil melakukan itu, kenapa kita tidak?

Para pemain, pelatih, manajer, pemilik klub harus membantu Polri dengan memberikan data-data yang mereka punya. Kolaborasi PSSI-Polri ini momentum langka. Sikat semua yang terlibat. Jika tidak, sepakbola Indonesia tidak akan pernah ke mana-mana.




Note: artikel dimuat Solopos, Senin (24/12).




Sunday, December 16, 2018

WEDUS


WEDUS

Mendhing tuku sate, timbang tuku wedhuse
Mendhing genda’an timbang dadi bojone,
Mangan sate, ora mikir mburine
Ngingu wedhus dadak mikir sukete
reff :
Timbang dibojo, ora ana duite
Mendhing tak gae, genda’an wae
Ora usah mikir sabendinane,
Seminggu cukup sepisan wae
Mergone aku ora kuat,
Yen duwe bojo, wong melarat
Ra mblanjani, gawene sambat
Seneng kumpul modal dengkul banda nekat




------000------
Anda pernah mendengar lirik lagu di atas? Atau malah hapal? Ahai…jika termasuk yang terakhir—siapapun Anda-- bisa dipastikan Anda adalah penggemar berat lagu-lagu dangdut koplo Pantura.

Ya, lirik lagu di atas adalah bagian dari lagu berjudul Wedus (kalau tidak salah dipopulerkan Wiwik Sagita). Lagu itu sedemikian cetar di kalangan pegiat goyang yang biasa memadati Sriwedari di malam Minggu. Setiap Sabtu malam memang Sriwedari menyuguhkan lagu-lagu dangdut yang tak pernah sepi pengunjung.

Saya belum pernah bergabung ke komunitas mandi keringat itu meski tak dimungkiri pernah melihat dari jarak dekat lantaran bertepatan dengan saya mengantar anak-anak menikmati aneka permainan di taman hiburan remaja tersebut.

Saya menulis ini karena saya terpaksa harus “menikmati” lagu yang jauh dari kata nikmat itu (menurut saya lho ya) sebab setiap hari diputar di tempat kebugaran di mana saya sering berolahraga di sana.

Lagu berjudul Wedus ini hanya salah satu dari lagu-lagu dangdut koplo lainnya yang banyak beredar di masyarakat. Sebagian malah liriknya jorok dan diputar di radio-radio komunitas yang banyak beredar di udara Soloraya ini.

Jangan bandingkan lagu-lagu model ini dengan tembang-tembang legendaris kayak Ani-nya Bang Haji Rhoma Irama, Gubuk Bambu-nya Meggy Z (almarhum) atau Cinta Parabola-nya Mbak Evie Tamala. Sangat jauh dan tidak layak dibandingkan. Kebetulan tiga penyanyi ini lagu-lagunya menghiasi perjalanan masa kecil saya di desa nun jauh di Sukoharjo.

Sampai sekarang pun lagu-lagu itu masih popular dinyanyikan, bukan saja oleh generasi tempo doeloe tapi juga oleh anak-anak muda zaman sekarang. Tak aneh sebab lagu-lagu legendaris itu diaransemen ulang dan menjadi rasa baru yang kerap muncul di acara-acara hajatan.

Kembali ke lagu Wedus tadi. Dari yang tidak nggagas lama-lama saya terpaksa menjadi hafal karena setiap hari mendengarnya di gym tempat saya berolahraga. Dan dari situ saya tahu, selain kualitas suara penyanyinya sangat pas-pasan lirik lagunya juga sontoloyo. Jelas lagu yang dibuat hanya untuk “kepentingan sesaat”, hanya cari uang semata. Itu saja, selesai. Tanpa nilai seni yang bakal awet di setiap zaman.

Inilah yang membedakan dengan lagu-lagu zaman dulu. Kenapa lagu-lagu tempo dulu masih oke dinyanyikan sekarang? Karena kualitas seninya sangat kuat. Iramanya merdu, suara penyanyinya oke dan liriknya pun tidak asal-asalan. “Penyanyi zaman dulu itu menciptakan lagu dengan hati. Mereka ingin memberi yang terbaik bagi masyarakat, tidak berpikir apakah nanti lagunya akan laku dan menjadi uang atau tidak. Mereka hanya berpikir lagu yang dinyanyikan bagian dari sejarah bangsa ini,” tutur Bang Haji Rhoma Irama dalam salah satu wawancaranya dengan Sule di Trans 7, beberapa tahun lalu.

Pak Haji tidak asal omong. Tidak kurang 500 lagu telah ia ciptakan sejak album perdananya, Begadang diluncurkan pada 1973 silam. Bahkan album itu masuk dalam daftar 150 album terbaik sepanjang masa versi Majalah Rolling Stones. Oleh majalah itu Rhoma dimasukkan sebagai 25 artis terbesar Indonesia sepanjang masa bersama Bing Slamet, Ismail Marzuki, Koes Plus, Bimbo dan lain-lain.

Survei Reform Institute tahun 2008 juga menempatkan Rhoma Irama di atas penyanyi maupun grup-grup band tenar saat ini macam Ungu, Peterpan, Dewa 19 bahkan sang legenda hidup Iwan Fals.

Silakan cermati lirik lagu Wedus di atas. Tidak ada pesan moral sama sekali yang diusung sang pencipta lagu yang entah siapa dan dari mana ia berasal. Yang ada justru mengajar untuk bersikap pragmatis menghadapi hidup, yang penting senang bergelimang harta kendati bermandi dosa.

Genda’an atawa selingkuhan dikampanyekan secara masif dalam lirik lagu, diputar begitu bebas di radio-radio komunitas dan bisa didengarkan oleh siapa saja—termasuk anak-anak atau remaja.

Sebenarnya lagu tentang selingkuhan bukan barang baru. Topik orang ketiga sering menjadi inspirasi bagi para musisi untuk menuangkannya dalam bait-bait lagu, yang sering menyayat hati dan laris manis. Lagu-lagu galau ini benar-benar pas buat siapa saja yang saat ini jadi selingkuhan seseorang.

Yang pertama adalah lagu Begitu Salah Begitu Benar ciptaan Ahmad Dhani. Perhatikan liriknya:

"bahwa tak hanya diriku yang menjadi milikmu
 bahwa tak hanya diriku yang menemani tidurmu
 bahwa tak hanya diriku ada di hatimu selamanya"
Lagu ini bercerita tentang wanita yang bahagia walaupun tidak selalu bisa menemani sang kekasih. Ia sudah cukup dengan mencintai dan dicintai oleh pria tersebut walaupun mereka tidak bisa bersama.

Berikutnya adalah lagu Kekasih Gelapku yang dipopulerkan grup band Ungu. Lagu ini booming sekitar 6 tahun yang lalu. Bercerita tentang seorang pria yang mencintai kekasih gelapnya lebih dari ia mencintai kekasihnya sendiri.

Kumencintaimu lebih dari apapun
Meskipun tiada satu orang pun yang tahu
Kumencintaimu sedalam-dalam hatiku
Meskipun engkau hanya kekasih gelapku

Tak hanya lagu berirama sendu, ada juga lagu tentang orang ketiga dengan irama yang berapi-api. Tengok lagu Cemburu yang lagi-lagi dibikin Ahmad Dhani. Lagu ini menceritakan seorang yang sedang dibakar api cemburu. Liriknya bahkan bernada seram. Anehnya, lagu ini juga cukup populer.

Ingin kubunuh pacarmu
Saat dia cium bibir merahmu
Di depan kedua mataku
Hatiku terbakar jadinya cantik
Aku cemburu....

Dan tentu tak bisa dilewatkan adalah lagu karya Sheila on 7 yang sangat terkenal di awal 2000-an, Sephia.
Slamat tidur kekasih gelapku oh Sephia…
Smoga cepat kau lupakan aku
Kekasih sejatimu takkan pernah sanggup
untuk melupakanmu

Lagu itu menggemparkan musik Indonesia. Nama Sephia bahkan menjadi trand make untuk perempuan yang mengganggu hubungan/rumah tangga. Lagu ini meminta sang kekasih gelap untuk melupakan si pria karena ia ingin menjalani kehidupan cintanya dengan kekasihnya. Si pria kemungkinan merasa berdosa telah menghianati pacarnya dan berusaha kembali ke pelukannya dan meninggalkan si Sephia.

Gaes…dari beberapa contoh lagu bertema orang ketiga di atas coba bandingkan dengan lagu Wedus yang saya tulis di awal. Perbedaannya sangat jelas, seluruh lagu di atas bertema tentang cinta yang berbagi tanpa ada landasan materi alias harta benda. Sedangkan motivasi selingkuh pada lagu Wedus murni seratus persen karena masalah harta.
Timbang dibojo, ora ana duite
Mendhing tak gae, genda’an wae
Ora usah mikir sabendinane
Seminggu cukup sepisan wae
Mergone aku ora kuat

Benar-benar mengajarkan orang  untuk menjadikan materi/harta benda sebagai acuan utama untuk sebuah cinta. Repotnya lirik lagu model begini yang sekarang akrab di telinga kita. Bisa kita dengar lewat radio komunitas atau lewat rekaman Mp3 di HP-HP.

Jujur saya tidak tahu motivasi si pengarang lagu ini kala membuat lagu ini. Tentu tidak adil jika saya menghakimi sehabis-habisnya di sini sementara tidak ada secuil pun konfirmasi dari si pengarang lagu.



*Dimuat di Soloensis, 11 Maret 2016

Opa Riedl Sudah Mentok


Hingga menit ke-80 saya terus bersorak. Gol Boaz Salossa dan disusul Lerby Eliandri beberapa menit kemudian membuat saya yakin Indonesia bisa mencuri poin dalam laga perdana Piala AFF 2016 melawan jagoan Asia Tenggara, Thailand, Sabtu (19/11/2016).  

Lalu saya terdiam. Sedikit mengutuk. Keyakinan saya sesat total. Therasil Dangda benar-benar semprul. Setelah memborong dua gol ke gawang Australia dalam lanjutan kualifikasi Piala Dunia 2018 beberapa hari lalu, ternyata dia masih rakus.

Bukan hanya dua. Striker Negeri Gajah Putih yang kalah ganteng dari Bambang Pamungkas (kapok) itu memborong tiga gol ke gawang Kurnia Meiga. Kurnia Meiga? Iya betul, Kurnia Meiga. Ini juga semprul. Sulit dinalar Alfred Riedl masih memainkan kiper--yang malas gerak saat uji coba dengan Vietnam dan kebobolan tiga gol—itu dalam laga penting melawan Thailand.

Ke mana Andritani, Riedl? Tanyaku dalam hati. “Saya memasang Meiga karena dia yang paling siap,” jawab Opa Riedl, pelatih yang telah dua gagal membesut Pasukan Garuda di Piala AFF (liputan6.com).

Oya sudah, jawabku (masih) dalam hati.

Sodara-sodara, meski tertinggal dua gol di babak pertama, Boaz dkk. sebenarnya bermain apik di 15 menit babak kedua. Hasilnya, dua gol dalam rentang waktu 10 menit membuat Indonesia berhasil menyamakan kedudukan 2-2.

Namun kecerobohan Yanto Bazna dan Fachruddin menjadikan semuanya sia-sia. Dua gol tambahan dari Therasil Dangda membuat Indonesia hancur di menit-menit akhir. Indonesia kalah 2-4.

Itulah sepak bola. Selalu ada drama di sana. Baru berangkat saja sudah diiringi drama cederanya sang mesin gol Tim Merah Putih, Irfan Bachdim, akibat ditekel Hansamu Yama Pratama dalam latihan terakhir.

Dan pertandingan perdana selalu sulit, bahkan untuk tim sekelas Barcelona, Real Madrid atau Manchester United sekalipun. Pasukan Alfred Riedl terlihat demam panggung, eh demam lapangan. Satu tahun lebih absen dari laga internasional tak dimungkiri mempengaruhi penampilan anak-anak muda Skuat Garuda.

Apalagi, laga perdana di kancah internasional itu menghadapi Thailand, yang tengah memupuk asa lolos ke Piala Dunia  2018. Sebenarnya, seperti kata Opa Riedl seusai laga, penampilan Thailand tidak terlalu istimewa. Walaupun secara teknik lebih matang dari kita, mereka juga kerap melakukan kesalahan-kesalahan passing. Lini belakang mereka beberapa kali melakukan kesalahan mendasar. Tapi tetap saja mereka masih lebih joss.  

Drama di Filipina ini hanya sedikit dari roman sinetron sepak bola Indonesia. Larangan mengambil dua pemain per klub, gagalnya pemain bergabung ke timnas lantaran tidak diizinkan klub, adalah dua dari sekian banyak episode sepak bola Indonesia. “Ternyata tidak semua orang mendukung timnas. Ini menyedihkan untuk saya sebagai pelatih,” curhat Opa Riedl.

Sungguh Opa, kami memaklumi kesedihanmu. Sejujurnya kami lebih sedih lagi. Kami bingung dan bertanya-tanya apa yang membuatmu mau menerima tawaran melatih Tim Garuda. Kau pernah tersakiti saat membesut skuat timnas di era dualisme PSSI. Kau pernah melatih tanpa dibayar. Dan kini Opa mau menangani tim sementara federasi belum benar-benar terbebas dari teror politik. Hanya Opa (dan Tuhan) yang tahu alasannya.

Tapi Opa, kalah dari Thailand bukan kiamat. Masih ada dua laga, satu melawan tuan rumah Filipina dan terakhir melawan Singapura. Dua tim ini kayaknya sih tidak lebih istimewa dari Thailand. Setidaknya, hasil imbang 0-0 mereka membuktikan Indonesia bisa lebih baik dari laga pertama.

Tapi Opa, pasukanmu butuh semangat Manila 1991. Pernah membaca epos Tim Garuda di SEA Games 1991, Opa? Itulah gelar terakhir yang dihasilkan Indonesia di turnamen resmi Asia Tenggara. Ada sih gelar Juara Piala AFF 2013, tapi itu untuk kelas junior bukan senior. Konon di FIFA yang diakui yang kelas senior kan Opa?

Okelah aku bocori sedikit, Opa. Situasi di SEA Games 1991 Manila itu kurang lebih sama dengan saat ini. Indonesia diprediksi tidak bisa berbuat banyak. Kalah di segalanya dari tim-tim yang bertanding. Di fase grup Indonesia bersaing dengan juara bertahan Malaysia, Vietnam dan tuan rumah Filipina.

Satu-satunya yang bisa diolah pelatih Anatoli Polosin (Rusia) saat itu adalah memompa semangat Aji Santosa dkk. Indonesia harus bisa memanfaatkan kemampuan fisik untuk menutupi kekalahan skill pemain. Singkatnya, jika lawan hanya mampu main 2 x 45 Indonesia harus bisa main 2 x 90 menit. Hasilnya, Indonesia jawara. Itulah gelar terakhir hingga saat ini. 

Bisakah faktor fisik ini dimanfaatkan? Saya tidak tahu Opa. Melawan Thailand kemarin pun tim asuhanmu tampak loyo. Padahal Thailand masih kelelahan karena mengikuti babak penyisihan untuk Piala Dunia 2018. Ternyata pasukanmu lebih lelah dari mereka.

Sekarang kami pilih realistis saja. Tinggal pasrah saja kepada Yang Maha Kuasa, siapa yang Dia pilih jadi JUARA ASIA TENGGARA saat ini, kami sami’naa wa atha’naa.

Oh ya, satu lagi. Tolong jangan mainkan Kurnia Meiga dulu ya Opa. Dia pemain bagus kok, cuman sudah lama tidak memegang bola. Berikan kesempatan ke Andritani atau Teja Paku Alam yang terbukti jos di klub masing-masing.

Meiga memang punya nama besar. Apalagi badannya,  tinggi besar. Tapi laga resmi begini tidak cukup nama besar atau badan tinggi besar, Opa. Butuh pemain yang benar-benar siap, dan terlatih. Dan itu ada pada dua nama selain Kurnia Meiga. Please, Opa.

Oh ya Opa, untuk pertandingan melawan Filipina, Selasa (22/11), tolong dibisiki ke semua pemain, saat Indonesia menjuarai SEA Games di Manila 25 tahun silam, Roby Darwis cs menghajar tuan rumah Filipina 2-1. Kalau bisa besok diulangi lagi ya, skornya terserah yang penting menang.

Masalahmu bertumpuk, Opa. Semoga engkau diberi kesehatan. Ingat, usiamu sudah 63 tahun. Jangan sampai beban berat di pundakmu membuat umurmu berlari lebih cepat dari seharusnya.

Apapun hasil di Filipina, kami berjanji tidak akan menghujatmu (ingat syaratnya, jangan mainkan Meiga dulu). Benar, kami sudah sepakat tidak menghujatmu meski kau cetak hattrick gagal di Piala AFF. Hujatan kami lebih tepat untuk pemain-pemain politik di PSSI, yang saat ini belum ada tanda-tanda bakal lengser keprabon.

Hari sudah terlalu malam, met istirahat, Opa. Besok kamu harus memimpin latihan. Semoga mimpi yang indah, mimpi mengangkat tropi Piala AFF….


*Artikel dimuat di Soloensis, 20 November 2016








PETAHANA OH PETAHANA

Presiden Joko Widodo membombardir publik dengan sejumlah kebijakan populis di tahun politik. Setelah menaikkan anggaran perli...