Wednesday, January 16, 2019

PETAHANA OH PETAHANA



Presiden Joko Widodo membombardir publik dengan sejumlah kebijakan populis di tahun politik.

Setelah menaikkan anggaran perlindungan sosial untuk warga miskin sebesar 32,8% (menjadi Rp387,3 triliun), dana desa dari Rp60 triliun menjadi Rp70 triliun, Beasiswa Bidik Misi naik 19,51%, penerima bantuan iuran (PBI) jaminan kesehatan nasional (JKN) naik sebesar 4,7%, dan Program Indonesia Pintar naik 3,7%, kini tiga kebijakan populis baru dikeluarkan Jokowi.

Apa saja? Pertama, kenaikan gaji PNS dan pensiunan rata-rata 5%, lalu perekrutan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) yang difokuskan ke tenaga honorer dan terakhir gaji perangkat desa setara PNS golongan IIA.

Sah kah yang dilakukan Jokowi? Sah. Tidak ada aturan hukum yang dilanggar atas kebijakan amal karitatif (kasih sayang) yang berpotensi menaikkan elektabilitas dan simpati masyarakat itu.

Tapi kenapa baru sekarang kebijakan itu dikeluarkan? Kenapa tidak dari dulu sebelum masa kampanye? Itulah untungnya menjadi petahana alias incumbent. Siapapun dia, dari partai manapun, selama berstatus incumbent ia akan diuntungkan oleh posisinya sebagai penguasa.

Petahana bisa mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang mengundang simpati publik tanpa bisa digugat secara hukum. Ia memang pelaksana pemerintahan, ia pula yang berhak untuk menelurkan kebijakan-kebijakan untuk rakyat.

Etiskah? Nah pada norma ini yang bisa diperdebatkan. Jika memang untuk kepentingan masyarakat kenapa kebijakan-kebijakan itu tidak dikeluarkan jauh sebelum masa kampanye?

Suka-suka gue dong, gue kan petahana! Mungkin begitu jawaban kocaknya. Sebab, bukan hanya Jokowi yang memanfaatkan momentum menjadi petahana. Presiden sebelumnya, Susilo Bambang Yudhoyono, kala ditantang pada periode keduanya (2009) oleh Megawati Soekarnoputri dan Jusuf Kalla juga mengeluarkan jurus serupa. Kala itu ia menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM), memberikan bantuan langsung tunai (BLT) dan lain sebagainya.

Bukan hanya petahana di tingkat puncak, incumbent di daerah pun melakukan hal serupa. Wah kalau gitu tidak adil dong, petahana pasti menang? Belum tentu. Fauzi Bowo kalah saat berkompetisi dalam status Gubernur DKI Jakarta. Siapa yang mengalahkannya? Ya, Jokowi ini.

Pada Pilkada serentak 2018 lalu juga banyak petahana yang keok. Di antaranya Gubernur Lampung Muhammad Rico Ficardo, Gubernur Maluku Said Assegaf dan Gubernur Papua, Lukas Enembe. Petahana yang punya nama besar walaupun “hanya” berstatus Wakil Gubernur, Gus Ipul (Jawa Timur) dan Dedy Mizwar (Jawa Barat) juga tak mampu berbuat banyak menghadapi penantangnya.

Di Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, yang diramal oleh sejumlah lembaga survei bakal mendapatkan 70 persen suara karena berstatus petahana, hanya memperoleh sekitar 55 persen pemilih. Suara sisanya direbut Sudirman Said yang kini menjadi tim sukses Prabowo-Sandi.

Tapi memang lebih banyak yang berhasil kala berstatus sebagai petahana. Wali Kota Solo F.X. Hadi Rudyatmo tak tergoyahkan ketika bersaing dengan anak buahnya, Anung Indro Susanto. Kala itu Rudy, sapaan akrabnya, adalah petahana yang menggantikan Jokowi yang promosi ke DKI Jakarta.
Pada Pilkada Serentak 2018 lalu, Rahmat Effendi tak bisa digoyang sebagai Wali Kota Bekasi. Demikian pula Wali Kota Bogor Bima Arya dan Bupati Cirebon Sunjaya Purwadi. (Eiit…Khusus yang terakhir ini anomali karena  Sunjaya dicokok KPK karena kasus suap, tak lama setelah menjabat untuk kali kedua. Alamaaks…)

Bahkan dalam kontestasi tingkat mikro semacam pemilihan kepala desa (pilkades) pun petahana selalu lebih diuntungkan. Itu yang terjadi di Sukoharjo dan Wonogiri, bulan lalu.

----------------


Begitulah fenomena perpolitikan di Tanah Air. Suka atau tidak suka, rela atau tidak rela petahana selalu dalam posisi mendapat poin lebih dibandingkan penantang.
Setidaknya ada lima alasan petahana berpotensi menang. Pertama, rekam jejaknya selama memimpin di periode pertama. Jika bagus dia akan mudah menang, seperti yang terjadi pada Jokowi di periode kedua pemilihan Wali Kota Solo, 2010 silam. Tapi jika rekam jejaknya jelek, itu menjadi alasan yang mudah untuk menjatuhkan sang incumbent.
Kedua,  calon petahana sudah populer atau sudah lebih dikenal oleh masyarakat dibandingkan penantangnya. Sebab dalam sistem demokrasi popularitas adalah modal penting untuk meraup suara rakyat. Karenanya banyak artis yang menjajal peruntungan sebagai anggota DPR, terlepas ia punya keahlian atau tidak, yang penting terkenal.
Alasan ketiga, incumbent menguasai dan mampu menjangkau semua segmen pemilih. Ya wajar, ia sudah pernah memimpin selama lima tahun, waktu yang panjang untuk bisa blusukan ke sana ke mari.
Keempat, petahana mampu menggerakkan tokoh informal maupun formal yang berada di bawah kendalinya, termasuk birokrasi. Nah inilah yang sering disalahgunakan oleh incumbent. Oleh sebab itu, seruan PNS (ASN) dan perangkat desa/kelurahan netral harus terus digencarkan agar pesta demokrasi berjalan jujur dan adil.
Yang terakhir, incumbent biasanya lebih siap secara finansial. Sebab selama menjabat, gaji petahana relatif tidak terlalu banyak terpakai karena semua keperluannya sudah ditangggung negara.
Dalam kasus Pilpres 2019 kali ini tampaknya keuntungan petahana pada bagian terakhir ini tidak terlalu mutlak. Sebab, pasangan Prabowo, Sandiaga Uno relatif punya dana untuk biaya kampanye meraih simpati rakyat.
Yang pasti, Pilpres dan Pileg tahun ini harus JURDIL. Bagaimana hasilnya nanti? Mari kita nikmati pesta demokrasi ini sembari membaca buku dan minum kopi…

Solo, 16 Januari 2019

Abu Nadhif


PETAHANA OH PETAHANA

Presiden Joko Widodo membombardir publik dengan sejumlah kebijakan populis di tahun politik. Setelah menaikkan anggaran perli...